Jurisdiction Collective Action Forum, Dialogue #3:

Jakarta, 10 November 2021 – Pendekatan yurisdiksi (JA) memberikan visi pragmatis dan inspiratif untuk mencapai keselarasan lintas sektor yang berkelanjutan dari green prosperity. JA adalah pendekatan lanskap terpadu yang bertujuan untuk mengharmonisasikan tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan lewat partisipasi berbagai pemangku kepentingan lintas sektor yang dipimpin kepala pemerintahan baik di tingkat nasional maupun di tingkat sub-nasional.

 

Dengan bermunculan inisiatif JA yang dilakukan di beberapa yurisdiksi menjadi krusial untuk melihat potensi pendanaan hijau untuk mengakselerasi upaya kabupaten yang berprestasi menuju pertumbuhan rendah karbon, produksi komoditas berkelanjutan sekaligus mengedepankan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang inklusif.

 

Mekanisme insentif keuangan menjadi kunci untuk mengkonsolidasikan kepentingan ekonomi dan ekologi  lintas sektoral dan multipihak pada tingkat kabupaten untuk menuju Green Prosperity (kemakmuran hijau).  Pertemuan JCAF #3 dilaksanakan untuk mengidentifikasi adanya fasilitas keuangan, jenis instrumen pendanaan dan mekanisme yang diberlakukan untuk kabupaten serta bagaimana pendekatan Yurisdiksi dapat mengakselerasi pendanaan untuk masuk baik lewat penguatan sistem perencanaan dan mekanisme pelaporan, pemetaan prioritas, sistem regulasi dan beragam lainnya.

 

Diprakarsai oleh Coalition for Sustainability Partnership (CSP), Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Inisiatif Dagang Hijau (IDH), IPMI Case Centre, Filantropi Indonesia, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Landscape Indonesia, Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAgro) dan Tropical Forest Alliance (TFA) yang tergabung dalam  Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF) JCAF melangsungkan dialog bulanan yang dihadiri lebih dari 150 undangan dan dikurasi serta difasilitasi bersama para praktisi penerapan yurisdiksi berdasarkan prioritas dan tema yang disepakati.

 

JCAF#3 diharapkan dapat menghasilkan sebuah rekomendasi kasus investasi yang bisa di dorong lewat “Financing Jurisdiction Approach Toward Green Prosperity”. Dialog ini menghadirkan pegiat yurisdiksi di sekelompok kabupaten hijau, negara donor dan lembaga multilateral serta investor swasta. Pemerintah nasional dari BPDLH, BKF, Kementerian Lingkungan Hidup dan juga Kementerian Luar Negeri hadir memberikan  arahan terkait regulasi yang dapat diakses oleh kabupaten dalam bentuk fiskal domestik, pendanaan konvensional, obligasi hijau atau sukuk hijau serta dana investasi global. Pendekatan JA dapat digunakan untuk mengintensifkan produksi komoditas yang berkelanjutan di Indonesia.

Disaat yang sama sektor swasta pun memperkuat penerapan  sistem lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) dan selaras dengan meningkatnya investasi yang berkelanjutan.

 

Hal ini jadi momentum tepat untuk pemerintah, bisnis, dan lembaga keuangan Indonesia untuk mempromosikan kabupaten berkemakmuran hijau di Indonesia mengingat instrumen maupun ekosistem pendukung sedang dibangun.

 

JA mendapatkan momentum dan dipilih oleh sejumlah pihak untuk membantu dan mengurangi deforestasi dan juga emisi namun tetap mengedepankan pertumbuhan masyarakatnya.  JA juga dipakai oleh pelaku usaha yang memerlukan kepastian sourcing yang berkelanjutan dalam rantai pasok lewat upaya sertifikasi berkelanjutan pada tingkat yurisdiksi. Sebuah trend  konsolidasi menuju pembangunan hijau. JA menjadi kasus investasi yang menarik untuk melihat potensi investasi di tingkat yurisdiksi (kabupaten) karena lebih efisien sekaligus menjawab permasalahan  pelik terhadap  penanggulangan deforestasi di Indonesia yang memerlukan pendanaan yang besar.” ujar CEO Landscape Indonesia Agus Sari.

 

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melakukan strategi jangka panjang untuk pertumbuhan rendah karbon dan resiliensi iklim lewat pendanaan, peningkatan kapasitas maupun inovasi teknologi. Mekanisme BPDLH berperan sebagai administrator pendanaan iklim yang terkait dengan kebijakan fiskal, investasi hijau, pendanaan swasta juga internasional.

 

“Pendanaan nasional untuk mengatasi masalah iklim di Indonesia setiap tahunnya mencapai 260 juta USD sementara APBN hanya terserap sekitar 30-40% sehingga di tingkat daerah perlu mencari pembiayaan inovatif yang dapat digunakan untuk memprioritaskan pembangunan lingkungan yang dapat mengkonsolidasi berbagai kepentingan dan amannya ekosistem yang lebih efektif.” jelas Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Dr, Djoko Hendratto, M.B.A.

Selain adanya instrumen  BPDLH, pemerintah nasional juga mendorong adanya inovasi untuk mengembangkan bisnis model lewat pemanfaatan jasa lingkungan melalui metode blended finance hingga membangun sebuah unit investasi yang beroperasi secara bisnis di tingkat kabupaten.

 “IRU ini nanti akan bergerak bersama dengan investasi atau blended atau debt management unit yang disusun dalam bentuk UPTD. Kalau bisa nanti BLUD atau BUMD yang kemudian dia dipisahkan dari dinas. Nah disinilah kemudian kita bicara era blended finance. Kenapa ada BPDLH akan menjadi menarik kalau kemudian daerah juga bicaranya era baru pembentukan BPLHD supaya daerah bisa keluar dari ketergantungan APBN-APBD.” ungkap Joko Tri Haryanto.

Selaras dengan hal tersebut penting untuk mempersiapkan kabupaten secara kelembagaan dapat mengelola investasi hijau lewat pemenuhan indikator KDSD  yang mendorong prinsip inklusifitas atau gotong royong guna memungkinkan semua pihak mendapatkan peran sesuai dengan cakupan prioritas yang beragam antar Yurisdiksi, mencakup perlindungan gambut, perbaikan kanal, pegembangan desa peduil gambut, peningkatan kapasitas petani dan produksi,  lainnya.

“Apa yang kita pelajari terkait JA akhirnya dapat diwujudkan melalui 1 portofolio di level tapak atau perdesaan dalam pengembangan di level kabupaten. Ada 7 elemen yang sedang diuji coba untuk kawasan perdesaan, yakni perencanaan, kerangka peraturan pola gotong royong lintas pihak dan rencana aksi bersama. Hal ini diwujudkan dalam bentuk dukungan untuk pengembangan produk dan jasa ramah lingkungan ramah sosial oleh badan usaha berbasis masyarakat. Praktek JA seperti ini punya potensi menghubungkan lintas sektor termasuk komoditas, energi, limbah dan bahkan logistik. Model ini harapannya dapat dikembangkan sebagai titik awal transformasi rantai pasok” ungkap Head of Secretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari Gita Syahrani.

Dari sekian banyak upaya pengembangan yurisdiksi menuju pertumbuhan hijau, Kabupaten Seruyan merupakan salah satu kabupaten yang mendorong pertumbuhan berkelanjutan lewat sertifikasi petani mandiri dengan dukungan gotong royong pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat, seperti Inobu. Dengan keadaan ekosistem yang ada kabupaten ini juga peluang untuk mengakses pendanaan hijau yang tersedia.

“Sumber daya yang dikonversi dalam mendukung petani menuju sertifikasi erat kaitannya dengan peran pebisnis dan pemangku kepentingan penting dalam konteks sharing sumber daya entah itu dari pihak pemerintah daerah, NGO, maupun petani itu sendiri. Dukungan yang kami terima sejauh ini adalah bantuan pendampingan petani yang belum tersertifikasi. Bantuan ini dibagi menjadi 4 bentuk yakni pemetaan petani dalam rantai pasok dan penetapan standar, tenaga pakar untuk membantu pelatihan petani, pelatihan petani untuk menghadapi kebakaran hutan dan lahan, serta pembuatan pupuk berstandar sertifikasi. Saat ini perusahaan saling terlibat dalam pembagian data untuk kawasan lindung dan diharapkan pemerintah daerah dapat menyatukan protokol yang disepakati bersama dan bisa disatukan dalam revisi kebijakan tata ruang daerah. ujar Chief Legal Officer INOBU Bernadinus Steni.