Jurisdiction Collective Action Forum, Dialogue #1: “Pendekatan Wilayah Yurisdiksi di Asia Tenggara”

Jakarta, 2 September 2021 – Salah satu pendorong utama pendekatan yurisdiksi adalah potensi bagi pihak swasta dan pemerintah untuk memenuhi komitmen produksi komoditas yang berkelanjutan untuk mendorong agenda perubahan iklim di Indonesia. Pendekatan yurisdiksi jadi solusi di tingkat kabupaten melalui penerapan tata kelola lahan melalui indikator yang terukur dan disepakati bersama guna memperkuat standar keberlanjutan yang diakui oleh para pihak.
Pendekatan Yurisdiksi (JA) dikomandoi oleh kepala daerah dan dijalankan secara gotong royong dan terintegrasi oleh para pihak pada sebuah wilayah administratif. Aksi gotong royong ini melibatkan masyarakat adat, petani, masyarakat sipil, hingga rantai pasok dan praktisi keuangan untuk merumuskan prioritas pembangunan yang mengintegrasikan aspek sosial, lingkungan dan ekonomi guna mendorong pembangunan yang berkelanjutan.
Kendala utama dalam mengarusutamakan Pendekatan Yurisdiksi adalah ketersediaan kebijakan yang memayungi pendekatan tersebut, keberlanjutan komitmen pemerintah daerah ataupun pihak donor untuk merealisasikan dalam bentuk kebijakan dan pendanaan, serta peluang insentif pasar yang memberikan penghargaan atas hasil yang dicapai di tingkat yurisdiksi.
Diprakarsai oleh Coalition for Sustainability Partnership (CSP), Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Inisiatif Dagang Hijau (IDH), IPMI Case Centre, Filantropi Indonesia, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Landscape Indonesia, Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAgro) dan Tropical Forest Alliance (TFA) yang tergabung dalam Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF), Dialog ini mengusung tema “The State of Jurisdiction in Southeast Asia”. JCAF akan melangsungkan dialog bulanan yang dihadiri lebih dari 250 undangan dan dikurasi serta difasilitasi bersama para praktisi penerapan yurisdiksi berdasarkan prioritas dan tema yang disepakati.

JCAF berperan sebagai ruang dialog yang diharapkan dapat mendorong aksi gotong royong lintas sektor dan lintas komoditas serta memperkuat daya ungkit JA lewat mobilisasi investasi ke wilayah yurisdiksi; mengidentifikasi tantangan sekaligus peluang untuk memperkuat pendekatan para pihak ini, dan berbagi praktik terbaik. Diharapkan dialog ini menelurkan business case dan investment case yang berbasis data yang dapat mendemonstrasikan dampak dari pendekatan yurisdiksi terhadap tata kelola lahan yang baik.

Forum JCAF ini diharapkan dapat mendorong narasi positif dari tapak terkait pencapaian yang telah dihasilkan baik di tingkat kabupaten dan provinsi untuk menghasilkan komoditas yang berkelanjutan dan pencapaian pertumbuhan pembangunan yang berkelanjutan (SDG) yang dapat didemonstrasikan ke berbagai forum international.

“Melalui dialog ini rekan-rekan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang strategi yang berhasil maupun dapat mengidentifikasi kesenjangan dan harmonisasi kebijakan dari peraturan yang dibutuhkan oleh pemangku kepentingan. Serta memberikan rekomendasi yang holistik dan mengidentifikasi ide-ide kolektif lebih lanjut guna mempercepat investasi masuk ke dalam yurisdiksi.” ujar Regional Director TFA Southeast Asia Rizal Algamar.
Dalam Paris Climate Agreement 2015 yang lalu, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengintegrasikan agenda Perubahan Iklim ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Lebih lanjut komitmen ini diterjemahkan di dalam Low Carbon Development Indonesia (LCDI) serta Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai mekanisme implementasi untuk mencapai Nationally Determined Contribution(NDC). Implementasi kebijakan LCDI juga akan berkontribusi pada pencapaian Visi Indonesia tahun 2045 dalam mengutamakan pelaksanaan pembangunan rendah karbon yang berkelanjutan. Pendekatan Yurisdiksi berperan sebagai mekanisme integrasi lintas-sektoral dan lintas regional untuk mengakselerasi komitmen pemerintah di tingkat yurisdiksi.
Mitra lainnya, Proforest berkolaborasi dengan Daemeter dalam inisiatif lanskap di Siak dan Pelalawan, melalui wadah Consortium of Resource Experts (CORE), melihat penerapan yurisdiksi memberikan peluang untuk keterlibatan aktif rantai pasok dalam lanskap produksi di Indonesia dan Malaysia untuk mendukung upaya produksi komoditas yang bertanggung jawab. Hal ini disampaikan dalam sesi diskusi JCAF oleh Direktur Proforest Asia Tenggara, Surin Suksuwan,

Pada bulan Juli 2021, Kabupaten anggota LTKL telah mendeklarasikan komitmen bersama untuk mendukung target nasional untuk melindungi setidaknya 50% ekosistem penting di wilayah masing-masing Kabupaten pada tahun 2030 dengan berbagai inovasi yang mensejahterakan masyarakat. Sembilan Kabupaten yang tergabung dalam asosiasi ini adalah Kabupaten Siak, Musi Banyuasin, Sintang, Sigi, Gorontalo, Bone Bolango, Aceh Tamiang, Sanggau, dan Kapuas Hulu yang tersebar di enam provinsi. Dengan menggunakan pendekatan yurisdiksi (JA) sebagai model pembangunan sesuai RPJMN 2020-2024, Kabupaten anggota LTKL dapat mengintegrasikan mekanisme gotong royong para pihak dan lintas sektor melalui fasilitasi pemerintah pada tingkat wilayah administrasi. Model ini dapat berkontribusi nyata pada target nasional Indonesia untuk menarik investasi berkualitas ramah lingkungan, ramah sosial untuk meningkatkan daya saing daerah, membuka lapangan pekerjaan dan peluang usaha baru, serta mencegah kebencanaan dan krisis iklim

Saat ini Pendekatan Yurisdiksi telah berkembang dengan prioritas yang berbeda, baik pada konservasi hutan dan produksi komoditas berkelanjutan di wilayah Indonesia maupun Malaysia, meliputi Aceh Tamiang di Aceh, Tapanuli Selatan di Sumatera Utara, Seruyan di Kalimantan Tengah, Siak di Riau, Berau di Kalimantan Timur, Sintang di Kalimantan Barat serta negara bagian Sabah dan Sarawak.

“Masyarakat lokal menjadi stakeholders yang sangat penting untuk mempersiapkan kebijakan yurisdiksi melalui penyelarasan kebijakan nasional dan kolaborasi dari pihak swasta dengan tujuan mempersiapkan komoditas yang berkelanjutan dan pembangunan rendah karbon. Intervensi tingkat subnasional ini dapat menghasilkan proposisi nilai untuk wilayah yurisdiksi dan membuka peluang lintas komoditas. Untuk itu, Kabupaten Siak berkomitmen untuk mengintegrasikannya dengan RPJMD Kabupaten Siak bahkan sekarang sedang dalam upaya sosialisasi untuk menurunkan ke tingkat desa (RPJMDes).” Jelas Kepala BAPPEDA Siak, Riau, Wan Muhammad Yunus.

Implementasi Penerapan Yurisdiksi telah menunjukkan tanda-tanda kemajuan dalam wilayah yurisdiksi, dan hal tersebut membutuhkan upaya berkelanjutan dan keterlibatan multipihak. Hasil penting yang dicapai dari intervensi di yurisdiksi antara lain peningkatan strategi perencanaan tata ruang wilayah, komitmen pemimpin politik, kebijakan pertumbuhan hijau, pembentukan tata kelola multistakeholder, dan lain-lain. Namun, tantangan yang dihadapi menunjukkan diperlukannya dukungan regulasi terkait pendekatan yurisdiksi agar dapat diintegrasikan ke dalam perencanaan dan penganggaran baik di tingkat nasional maupun daerah. Dengan begitu, pendanaan jangka panjang dapat dialokasikan guna mendanai kegiatan prioritas tersebut baik di tingkat kabupaten atau provinsi. Selain regulasi, siklus politik dan komitmen donor adalah dua isu yang sama pentingnya untuk dibahas dalam menangani keberlanjutan pendekatan yurisdiksi.

Pendekatan Yurisdiksi merupakan pendekatan yang rasional dan bisa diterapkan (implementable) karena komponen komponennya terukur dalam penerapan tata kelola yang baik (Good Governance) di tingkat pemerintah maupun swasta. Prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan responsibilitas bisa diterapkan dengan baik. “Dengan upaya gotong royong dalam meningkatkan praktik Pendekatan Yurisdiksi, saya yakin pemerintah juga akan terbantu dalam pelaksanaan program di tingkat desa secara lebih efektif, terutama karena menggandeng masyarakat atau komunitas yang tinggal di wilayah yurisdiksi. Salah satu bukti yang bisa dilihat dari program Aksi Inspiratif Warga Untuk Perubahan (SIGAP) yang melibatkan warga di 99 desa yang ada di Berau, Kalimantan Timur. Program ini memang dirancang untuk menurunkan emisi gas rumah kaca melalui upaya pengurangan laju penggundulan dan kerusakan hutan dengan tujuan agar mampu berkontribusi dalam pengendalian perubahan iklim global.” tambah Senior Advisor Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), Wahjudi Wardojo.

Forum Aksi Kolektif Yurisdiksi (JCAF) akan menjadi yang pertama dari serangkaian dialog yang akan diselenggarakan oleh para pihak. JCAF menyediakan ruang dialog konstruktif bagi para pelaku yurisdiksi untuk mengidentifikasi kemajuan, tantangan, dan kesenjangan yang masih harus ditangani dalam konteks kerangka peraturan, peluang investasi, pasar, dan insentif. JCAF bermaksud untuk memperkuat kondisi JA saat ini di Indonesia dan Malaysia dalam semangat Gotong Royong untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan dan rendah karbon.

“JA berfungsi sebagai ruang bagi mitra multi-stakeholder yang berkomitmen untuk mematuhi prioritas produksi, perlindungan, dan inklusi dan secara bersama-sama setuju untuk membangun peta jalan bagi rencana pertumbuhan hijau untuk mencapai target menengah terkait dengan sumber dan ketertelusuran yang berkelanjutan dan melibatkan sektor swasta, masyarakat sipil, dan masyarakat. Dengan demikian kita dapat membuka kemungkinan pembeli global untuk mendapatkan komoditas berkelanjutan tersertifikasi dan terlibat dengan produsen khusus yurisdiksi.” tegas Insan Syafaat, Executive Director PISAGro.