Jurisdiction Collective Action Forum, Dialogue #4:
Jakarta, 3 Desember 2021 – Perlindungan ekosistem keanekaragaman hayati beserta hutan hujan tropis adalah upaya penting untuk menahan laju suhu bumi dibawah 1,5 derajat. Sebagai salah satu penyumbang emisi, sektor pangan dan penggunaan lahan menghadapi tantangan bagaimana menerapkan produksi komoditas pangan yang berkelanjutan sebagai upaya konkrit untuk menghadapi potensi ‘krisis iklim’.
Agenda perubahan iklim dapat dicapai secara gotong royong dengan melibatkan para pihak dengan semangat pertumbuhan hijau yang tidak hanya menjamin kesejahteraan ekonomi masyarakat tetapi juga melindungi lingkungan. Pada konferensi tingkat tinggi UNFCCC COP 26 dan UNCBD COP 15 (Part 1), para pemimpin negara produser, konsumer, bisnis, masyarakat sipil menyepakati untuk berkomitmen mencapai pertumbuhan net zero dengan pendekatan yang transformatif. Pendekatan Yurisdiksi sebagai salah satu inovasi yang mendorong partisipasi lintas pihak, sektor dan aktor dalam suatu tatakelola administrasi Pemerintah Daerah untuk pertumbuhan sosial ekonomi dan lingkungan yang seimbang. Pendekatan ini dikomandoi oleh Pemerintah Daerah yang didukung oleh para pemangku kepentingan didaerahnya.
Sebagai salah satu penandatangan kesepakatan Paris, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di UNFCCC COP 26, menyampaikan secara tegas bahwa Indonesia berkomitmen dalam mendorong Agenda Perubahan Iklim yang ditunjukkan dalam penurunan laju deforestasi yang signifikan. Visi pemerintah ini selaras dengan empat tujuan yang diusung dalam UNFCCC COP 26 tahun ini yaitu menuju pembangunan dunia net-zero guna menahan laju panas bumi dibawah 1,5 derajat celcius, melindungi masyarakat dan ekosistem, serta melakukan mobilisasi keuangan. Keberhasilan Pemerintah Indonesia dalam menurunkan deforestasi sebesar 75,03% di periode tahun 2019-2020 hingga ke angka 115,46 ribu Ha[1] menjadi bukti nyata akan konsistensi komitmen pemerintah.
Oleh karena itu, memahami implikasi UNFCCC COP 26 yang menitikberatkan kepada keanekaragaman hayati pada skenario perubahan iklim global sangat penting dalam mengembangkan respons yang tepat dalam sektor komoditas pertanian. Demikian pula, konferensi keanekaragaman hayati UNCBD COP 15 (Part 1), yang dihadiri oleh negara anggota CBD, para pihak mendorong kesepakatan untuk menempatkan keanekaragaman hayati sebagai salah satu agenda pemulihan alam pada tahun 2030 sebagai upaya pencapaian visi bersama di tahun 2050 yaitu “living in harmony with nature”.
Komitmen yang dituangkan oleh pemerintah, sektor swasta dan kelompok masyarakat sipil pada kedua konferensi iklim COP UNFCC COP 26 dan UNCBD COP 15 selaras dengan pendekatan yurisdiksi dimana menempatkan semangat gotong royong atau pelibatan para pihak sebagai elemen kunci untuk mendorong transformasi tata kelola ekosistem di skala yurisdiksi. Pendekatan yurisdiks (JA) dapat menjadi visi pragmatis dan inspiratif untuk mencapai keberlanjutan lintas sektor yang akan membantu memastikan stabilitas iklim dan konservasi keanekaragaman hayati sambil mengejar kesejahteraan dan kemakmuran manusia.
Dialog Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF) ke-4 menjadi wadah dialog strategis para pemimpin bisnis untuk mengupayakan penerapan bisnis yang berkelanjutan, mendorong perlindungan keanekaragaman hayati dalam sebuah wilayah ekosistem, lanskap hingga yurisdiksi yang berkontribusi pada pencapaian global, serta merancang rencana strategis yang akan dibahas lebih lanjut di UNFCCC COP 27 dan UNCBD COP 15 (Part 2). Diprakarsai oleh Cocoa Sustainability Partnership (CSP), Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Inisiatif Dagang Hijau (IDH), IPMI Case Centre, Filantropi Indonesia, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Landscape Indonesia, Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAgro) dan Tropical Forest Alliance (TFA) yang tergabung dalam kolaborasi mengarusutamakan pendekatan yurisdiksi melalui Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF).
Southeast Asia Regional Director Proforest Surin Suksuwan mengungkapkan “Indonesia telah mencapai kemajuan besar terkait penurunan laju deforestasi dan reduksi karbon. Namun sayangnya upaya ini belum diketahui luas ke dunia internasional. Dalam COP 26 kemarin, Pemerintah Indonesia sangat jelas berkomitmen untuk menahan laju peningkatan suhu bumi dibawah 1,5 derajat Celcius; para pemangku kepentingan dari non-state actor siap untuk turut serta mendukung dan menyelaraskan strategi dan membangun peta-jalan bersama-sama. Salah satunya adalah melalui melalui pendekatan yurisdiksi (JA) dengan memperkuat praktek gotong-royong.”
General Manager Group Sustainability Wilmar International, Pepertua George menjelaskan, “Sektor swasta terus menunjukan komitmen dan inisiatif yang jelas pada saat COP 26 terhadap dekarbonasi. Salah satunya Wilmar, sebagai salah satu dari 12 perusahaan perdagangan dan pengolahan agrikultur global, Wilmar berkomitmen untuk membangun peta jalan sektoral untuk meningkatkan aksi rantai pasokan sesuai dengan komitmen menahan laju peningkatan suhu dibawah 1,5 derajat celcius untuk dapat dipublikasikan pada COP 27.”
Pepertua menambahkan bahwa penting bagi semua pemangku kepentingan, terutama sektor swasta dengan pemerintah, untuk menyelaraskan pendekatan maupun strategi untuk saling bekerja sama dalam mengembangkan dan mewujudkan tujuan multisektoral yang dipetakan selama COP 26.
Indonesia pun telah menunjukkan bukti nyata terhadap kepatuhannya untuk mengelola hasil hutan secara bertanggungjawab, salah satunya adalah lewat verifikasi legalitas kayu SVLK dan Pengelolah Hutan Produksi Lestari (PHPL). Cakupannya pun melingkupi perlindungan keanekaragaman hayati dan pencegahan iklim. Upaya ini oleh beberapa Perusahan kayu terdepan lainnya, seperti SLJ Global.
“SLJ Global membangun tata kelola yang kuat, tidak hanya dalam model operasi bisnis, melainkan seluruh rantai pasok lewat pemenuhan standard sertifikasi PHPL Indonesia, SLVK, dan juga standard Internasional, yaitu FSC. Tujuannya untuk memastikan pengelolaan hutan dilakukan secara berkelanjutan yang melindungi iklim, ekosistem, dan juga masyarakat.” Ungkap Chief Financial Officer SLJ Global, Andrew Sunarko.
Andrew melanjutkan bahwa transparansi dan akuntabilitias adalah dua poin kunci penting yang harus dimiliki oleh seluruh pemangku kepentingan. Untuk membangun tata kelola yang baik, SLJ membangun tata kelola yang menyeluruh dan melibatkan rantai pasok serta masyarakat umum untuk selalu diedukasi agar memahami agenda keberlanjutan perusahaan kami.
Momen pasca-Kunming dan pasca-Glasgow ini memberikan kesempatan penting untuk membahas potensi kawasan Asia Tenggara sebagai kontributor utama bagi proposisi nilai iklim dan keanekaragaman hayati global, terutama sebagai produsen utama hasil pertanian dan kehutanan. Pada diskusi global tentang peta-jalan dan rencana strategis terkait yang akan dibahas lebih lanjut di UNFCCC COP 27 dan UNCBD COP 15 (Part 2).
Co-founder & President Director Daemeter Consulting Aisyah Sileuw mengangkat topik terkait industri di Indonesia dan Malaysia berada di bawah tekanan publik untuk mengurangi deforestasi dalam rantai pasok sejak tahun 1980-1990an. Namun dalam satu dekade terakhir, seiring dengan perkembangan kapasitas pemrosesan industri, perhatian mengenai hutan, keragaman hayati, dan masyarakat harus semakin ditingkatkan.
Data menunjukan bahwa deforestasi di Indonesia dan Malaysia telah berkurang tajam sejak 2015. Berdasar hasil studi Daemeter Bersama Tropical Forest Alliance, laju deforestasi telah berkurang sebesar ~734 ribu Ha/tahun pada 2014-2015, menjadi ~339 ribu Ha/ tahun pada periode 2019-2020[2].
“Para pemangku kepementingan telah berkumpul dan berkomitmen untuk menghambat perubahan iklim dengan cara mengurangi laju deforestasi. Perlu kita sadari dan catat bahwa kita dapat membangun ecological civilization dengan cara belajar dari alam dan berkolaborasi atau melibatkan para aktor perubahan.” tutur Aisyah.
Chief Executive Officer Rimba Makmur Utama Dharsono Hartono menambahkan pendapat mengenai manusia sebagai agent of destruction yang bila tidak mau berubah akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Padahal, menurut Dharsono dalam konteks yang berlaku saat ini, manusia dan alam bisa saling berdampingan. Dengan segala upaya yang ada, manusia dapat memberikan nilai tambah ke alam, salah satunya dengan menjaga keanekaragaman hayati.
“Kata kunci yang sering saya ucapkan adalah keinginan belajar, transparan, dan keadilan. Sudah saatnya bukan hanya LSM yang peduli, melainkan seluruh pihak yang belajar dari alam sebagai aset bagi kita untuk hidup kedepannya.” Tutup Dharsono.
[1] https://www.menlhk.go.id/site/single_post/3645/laju-deforestasi-indonesia-turun-75-03
[2] Decade of Progress “Reducing Commodity Driveb Deforestation in Indonesia and Malaysia”, a study by Daemeter and the Tropical Forest Alliance