Strategi Gotong-royong Aksi Lokal, Atasi Krisis Iklim Global

Jurisdiction Collective Action Forum, Dialogue #4:

Jakarta, 3 Desember 2021 – Perlindungan ekosistem keanekaragaman hayati beserta hutan hujan tropis adalah upaya penting untuk menahan laju suhu bumi dibawah 1,5 derajat. Sebagai salah satu penyumbang emisi, sektor pangan dan penggunaan lahan menghadapi tantangan bagaimana menerapkan produksi komoditas pangan yang berkelanjutan sebagai upaya konkrit untuk menghadapi potensi ‘krisis iklim’.

Agenda perubahan iklim dapat dicapai secara gotong royong dengan  melibatkan para pihak dengan semangat  pertumbuhan hijau yang tidak hanya menjamin  kesejahteraan  ekonomi masyarakat tetapi juga  melindungi lingkungan. Pada konferensi tingkat tinggi UNFCCC COP 26 dan UNCBD COP 15 (Part 1), para   pemimpin negara produser, konsumer, bisnis, masyarakat sipil menyepakati untuk berkomitmen mencapai pertumbuhan net zero dengan pendekatan yang transformatif. Pendekatan Yurisdiksi sebagai salah satu inovasi yang mendorong partisipasi lintas pihak, sektor dan aktor dalam suatu tatakelola administrasi Pemerintah Daerah untuk pertumbuhan sosial ekonomi dan lingkungan yang seimbang. Pendekatan ini dikomandoi oleh Pemerintah Daerah yang didukung oleh para pemangku kepentingan didaerahnya.

Sebagai salah satu penandatangan kesepakatan Paris, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di UNFCCC COP 26, menyampaikan secara tegas bahwa Indonesia berkomitmen dalam mendorong Agenda Perubahan Iklim yang ditunjukkan dalam penurunan laju deforestasi yang signifikan. Visi pemerintah ini selaras dengan empat tujuan yang diusung dalam UNFCCC COP 26 tahun ini yaitu menuju pembangunan dunia net-zero guna menahan laju panas bumi dibawah 1,5 derajat celcius, melindungi masyarakat dan ekosistem, serta melakukan  mobilisasi keuangan. Keberhasilan Pemerintah Indonesia dalam menurunkan deforestasi sebesar 75,03% di periode tahun 2019-2020 hingga ke angka 115,46 ribu Ha[1] menjadi bukti nyata akan konsistensi komitmen  pemerintah.

Oleh karena itu, memahami implikasi UNFCCC COP 26 yang menitikberatkan kepada keanekaragaman hayati pada skenario perubahan iklim global sangat penting dalam mengembangkan respons yang tepat dalam sektor komoditas pertanian. Demikian pula, konferensi keanekaragaman hayati UNCBD COP 15 (Part 1), yang dihadiri oleh negara anggota CBD, para pihak mendorong kesepakatan untuk menempatkan keanekaragaman hayati sebagai salah satu  agenda pemulihan alam pada tahun 2030 sebagai upaya pencapaian visi bersama di tahun 2050 yaitu “living in harmony with nature”.

Komitmen yang dituangkan oleh pemerintah, sektor swasta dan kelompok masyarakat sipil pada kedua konferensi iklim COP UNFCC COP 26 dan UNCBD COP 15 selaras dengan pendekatan yurisdiksi dimana menempatkan semangat gotong royong atau pelibatan para pihak sebagai elemen kunci untuk mendorong transformasi tata kelola ekosistem di skala yurisdiksi. Pendekatan yurisdiks (JA) dapat menjadi visi pragmatis dan inspiratif untuk mencapai keberlanjutan lintas sektor yang akan membantu memastikan stabilitas iklim dan konservasi keanekaragaman hayati sambil mengejar kesejahteraan dan kemakmuran manusia.

Dialog Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF) ke-4 menjadi wadah dialog strategis   para pemimpin bisnis untuk mengupayakan penerapan bisnis yang berkelanjutan, mendorong perlindungan keanekaragaman hayati dalam sebuah wilayah ekosistem, lanskap hingga yurisdiksi yang berkontribusi pada pencapaian global, serta merancang rencana strategis yang akan dibahas lebih lanjut di UNFCCC COP 27 dan UNCBD COP 15 (Part 2). Diprakarsai oleh Cocoa Sustainability Partnership (CSP), Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Inisiatif Dagang Hijau (IDH), IPMI Case Centre, Filantropi Indonesia, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Landscape Indonesia, Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAgro) dan Tropical Forest Alliance (TFA) yang tergabung dalam  kolaborasi mengarusutamakan pendekatan yurisdiksi melalui Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF).

Southeast Asia Regional Director Proforest Surin Suksuwan mengungkapkan “Indonesia telah mencapai kemajuan besar  terkait penurunan laju deforestasi dan reduksi karbon. Namun sayangnya upaya ini belum diketahui luas ke dunia internasional. Dalam COP 26 kemarin, Pemerintah Indonesia sangat jelas berkomitmen untuk menahan laju peningkatan suhu  bumi dibawah 1,5 derajat Celcius; para pemangku kepentingan dari non-state actor siap untuk turut serta mendukung dan menyelaraskan strategi dan membangun peta-jalan  bersama-sama. Salah satunya adalah melalui melalui pendekatan yurisdiksi (JA) dengan memperkuat praktek gotong-royong.”

General Manager Group Sustainability Wilmar International, Pepertua George menjelaskan, “Sektor swasta terus menunjukan komitmen dan inisiatif yang jelas pada saat COP 26 terhadap dekarbonasi. Salah satunya Wilmar, sebagai salah satu dari 12 perusahaan perdagangan dan pengolahan agrikultur global, Wilmar berkomitmen untuk membangun peta jalan sektoral untuk meningkatkan aksi rantai pasokan sesuai dengan komitmen menahan laju peningkatan suhu dibawah 1,5 derajat celcius untuk dapat dipublikasikan pada COP 27.”

Pepertua menambahkan bahwa penting bagi semua pemangku kepentingan, terutama sektor swasta dengan pemerintah, untuk menyelaraskan pendekatan maupun strategi untuk saling bekerja sama dalam mengembangkan dan mewujudkan tujuan multisektoral yang dipetakan selama COP 26.

Indonesia pun telah menunjukkan bukti nyata terhadap kepatuhannya untuk mengelola hasil hutan secara bertanggungjawab, salah satunya adalah lewat verifikasi legalitas kayu SVLK dan Pengelolah Hutan Produksi Lestari (PHPL). Cakupannya pun melingkupi perlindungan keanekaragaman hayati dan pencegahan iklim. Upaya ini oleh beberapa Perusahan kayu terdepan lainnya, seperti SLJ Global.

“SLJ Global membangun tata kelola yang kuat, tidak hanya dalam model operasi bisnis, melainkan seluruh rantai pasok lewat pemenuhan standard sertifikasi PHPL Indonesia,  SLVK, dan  juga standard Internasional, yaitu FSC. Tujuannya untuk memastikan pengelolaan hutan dilakukan secara berkelanjutan yang melindungi iklim, ekosistem, dan juga masyarakat.” Ungkap Chief Financial Officer SLJ Global, Andrew Sunarko.

Andrew melanjutkan bahwa transparansi dan akuntabilitias adalah dua poin kunci penting yang harus dimiliki oleh seluruh pemangku kepentingan. Untuk membangun tata kelola yang baik, SLJ membangun tata kelola yang menyeluruh dan melibatkan rantai pasok serta masyarakat umum untuk selalu diedukasi agar memahami agenda  keberlanjutan perusahaan kami.

Momen pasca-Kunming dan pasca-Glasgow ini memberikan kesempatan penting untuk membahas potensi kawasan Asia Tenggara sebagai kontributor utama bagi proposisi nilai iklim dan keanekaragaman hayati global, terutama sebagai produsen utama hasil pertanian dan kehutanan. Pada diskusi global tentang peta-jalan dan rencana strategis terkait yang akan dibahas lebih lanjut di UNFCCC COP 27 dan UNCBD COP 15 (Part 2).

Co-founder & President Director Daemeter Consulting Aisyah Sileuw mengangkat topik terkait industri di Indonesia dan Malaysia berada di bawah tekanan publik untuk mengurangi deforestasi dalam rantai pasok sejak tahun 1980-1990an. Namun dalam satu dekade terakhir, seiring dengan perkembangan kapasitas pemrosesan industri, perhatian mengenai hutan, keragaman hayati, dan masyarakat harus semakin ditingkatkan.

Data menunjukan bahwa deforestasi di Indonesia dan Malaysia telah berkurang tajam sejak 2015. Berdasar hasil studi Daemeter Bersama Tropical Forest Alliance, laju deforestasi telah berkurang sebesar ~734 ribu Ha/tahun pada 2014-2015, menjadi ~339 ribu Ha/ tahun pada periode 2019-2020[2].

“Para pemangku kepementingan telah berkumpul dan berkomitmen untuk menghambat perubahan iklim dengan cara mengurangi laju deforestasi. Perlu kita sadari dan catat bahwa kita dapat membangun ecological civilization dengan cara belajar dari alam dan berkolaborasi atau melibatkan para aktor perubahan.” tutur Aisyah.

Chief Executive Officer Rimba Makmur Utama Dharsono Hartono menambahkan pendapat mengenai manusia sebagai agent of destruction yang bila tidak mau berubah akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Padahal, menurut Dharsono dalam konteks yang berlaku saat ini, manusia dan alam bisa saling berdampingan. Dengan segala upaya yang ada, manusia dapat memberikan nilai tambah ke alam, salah satunya dengan menjaga keanekaragaman hayati.

“Kata kunci yang sering saya ucapkan adalah keinginan belajar, transparan, dan keadilan. Sudah saatnya bukan hanya LSM yang peduli, melainkan seluruh pihak yang belajar dari alam sebagai aset bagi kita untuk hidup kedepannya.” Tutup Dharsono.

[1] https://www.menlhk.go.id/site/single_post/3645/laju-deforestasi-indonesia-turun-75-03

[2] Decade of Progress “Reducing Commodity Driveb Deforestation in Indonesia and Malaysia”, a study by Daemeter and the Tropical Forest Alliance

JCAF Dialogue #4: Global Impact, Local Action

EXECUTIVE SUMMARY

Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF) held its virtual Dialogue #4 on 25 November 2021. The forum focuses on this year’s most anticipated global events, the UNFCCC COP 26 in Glasgow and UNCBD COP 15 (Part 1) in Kunming, which brought in the business sectors’ perspectives and their strategy towards achieving net-zero goal and biodiversity conservation, as well as community livelihood. The dialogue of the two prominent summits sought to discuss Southeast Asia’s potentials as a pivotal contributor to the global climate and biodiversity value proposition, particularly as a major producer of agricultural and forestry outputs.

In line with the Indonesian government’s decade of achievement and strong commitment to continue in bending the curve of deforestation, as stated by President Joko Widodo at COP 26, business leaders have proactively stood firm to their commitment to do more than just pledging, but to also translate that pledge to their supply chain operations. Further strengthening conservation programs, traceability and supply chain mapping, renewable energy investments, and sustainable forest management systems are critical models of actions for leading cross-sectors commodities in their pursuit toward climate agenda. The wide array of cross-sectoral actors from financing, rubber sector, and restoration ecosystems collectively outline their strategies and actions to integrate biodiversity conservation and community empowerment into their business models while making financial calls to scale it up.

The fourth JCAF dialogue concluded that business leaders had outlined their actions to contribute to achieving the climate-action agenda as reflected at the UNCOP 26 and UNCBD Cop 15. However, involving financial sectors is critical to unlocking economic opportunities to leverage current silo/ecosystems/project-based activities and synergize with local governments, who sit at the helm of cross-sector, multi-stakeholder collaborations. Therefore the session recommended developing business cases to identify shared-lessons learnings and potential opportunities for scalable solutions in leading jurisdictions, contributing to the implementation measures and action plans toward climate-solution agenda in the next COP 27.

Gotong-royong Membangun Perencanaan Keuangan Melalui Pendekatan Yurisdiksi

Jurisdiction Collective Action Forum, Dialogue #3:

Jakarta, 10 November 2021 – Pendekatan yurisdiksi (JA) memberikan visi pragmatis dan inspiratif untuk mencapai keselarasan lintas sektor yang berkelanjutan dari green prosperity. JA adalah pendekatan lanskap terpadu yang bertujuan untuk mengharmonisasikan tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan lewat partisipasi berbagai pemangku kepentingan lintas sektor yang dipimpin kepala pemerintahan baik di tingkat nasional maupun di tingkat sub-nasional.

 

Dengan bermunculan inisiatif JA yang dilakukan di beberapa yurisdiksi menjadi krusial untuk melihat potensi pendanaan hijau untuk mengakselerasi upaya kabupaten yang berprestasi menuju pertumbuhan rendah karbon, produksi komoditas berkelanjutan sekaligus mengedepankan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang inklusif.

 

Mekanisme insentif keuangan menjadi kunci untuk mengkonsolidasikan kepentingan ekonomi dan ekologi  lintas sektoral dan multipihak pada tingkat kabupaten untuk menuju Green Prosperity (kemakmuran hijau).  Pertemuan JCAF #3 dilaksanakan untuk mengidentifikasi adanya fasilitas keuangan, jenis instrumen pendanaan dan mekanisme yang diberlakukan untuk kabupaten serta bagaimana pendekatan Yurisdiksi dapat mengakselerasi pendanaan untuk masuk baik lewat penguatan sistem perencanaan dan mekanisme pelaporan, pemetaan prioritas, sistem regulasi dan beragam lainnya.

 

Diprakarsai oleh Coalition for Sustainability Partnership (CSP), Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Inisiatif Dagang Hijau (IDH), IPMI Case Centre, Filantropi Indonesia, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Landscape Indonesia, Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAgro) dan Tropical Forest Alliance (TFA) yang tergabung dalam  Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF) JCAF melangsungkan dialog bulanan yang dihadiri lebih dari 150 undangan dan dikurasi serta difasilitasi bersama para praktisi penerapan yurisdiksi berdasarkan prioritas dan tema yang disepakati.

 

JCAF#3 diharapkan dapat menghasilkan sebuah rekomendasi kasus investasi yang bisa di dorong lewat “Financing Jurisdiction Approach Toward Green Prosperity”. Dialog ini menghadirkan pegiat yurisdiksi di sekelompok kabupaten hijau, negara donor dan lembaga multilateral serta investor swasta. Pemerintah nasional dari BPDLH, BKF, Kementerian Lingkungan Hidup dan juga Kementerian Luar Negeri hadir memberikan  arahan terkait regulasi yang dapat diakses oleh kabupaten dalam bentuk fiskal domestik, pendanaan konvensional, obligasi hijau atau sukuk hijau serta dana investasi global. Pendekatan JA dapat digunakan untuk mengintensifkan produksi komoditas yang berkelanjutan di Indonesia.

Disaat yang sama sektor swasta pun memperkuat penerapan  sistem lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) dan selaras dengan meningkatnya investasi yang berkelanjutan.

 

Hal ini jadi momentum tepat untuk pemerintah, bisnis, dan lembaga keuangan Indonesia untuk mempromosikan kabupaten berkemakmuran hijau di Indonesia mengingat instrumen maupun ekosistem pendukung sedang dibangun.

 

JA mendapatkan momentum dan dipilih oleh sejumlah pihak untuk membantu dan mengurangi deforestasi dan juga emisi namun tetap mengedepankan pertumbuhan masyarakatnya.  JA juga dipakai oleh pelaku usaha yang memerlukan kepastian sourcing yang berkelanjutan dalam rantai pasok lewat upaya sertifikasi berkelanjutan pada tingkat yurisdiksi. Sebuah trend  konsolidasi menuju pembangunan hijau. JA menjadi kasus investasi yang menarik untuk melihat potensi investasi di tingkat yurisdiksi (kabupaten) karena lebih efisien sekaligus menjawab permasalahan  pelik terhadap  penanggulangan deforestasi di Indonesia yang memerlukan pendanaan yang besar.” ujar CEO Landscape Indonesia Agus Sari.

 

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melakukan strategi jangka panjang untuk pertumbuhan rendah karbon dan resiliensi iklim lewat pendanaan, peningkatan kapasitas maupun inovasi teknologi. Mekanisme BPDLH berperan sebagai administrator pendanaan iklim yang terkait dengan kebijakan fiskal, investasi hijau, pendanaan swasta juga internasional.

 

“Pendanaan nasional untuk mengatasi masalah iklim di Indonesia setiap tahunnya mencapai 260 juta USD sementara APBN hanya terserap sekitar 30-40% sehingga di tingkat daerah perlu mencari pembiayaan inovatif yang dapat digunakan untuk memprioritaskan pembangunan lingkungan yang dapat mengkonsolidasi berbagai kepentingan dan amannya ekosistem yang lebih efektif.” jelas Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Dr, Djoko Hendratto, M.B.A.

Selain adanya instrumen  BPDLH, pemerintah nasional juga mendorong adanya inovasi untuk mengembangkan bisnis model lewat pemanfaatan jasa lingkungan melalui metode blended finance hingga membangun sebuah unit investasi yang beroperasi secara bisnis di tingkat kabupaten.

 “IRU ini nanti akan bergerak bersama dengan investasi atau blended atau debt management unit yang disusun dalam bentuk UPTD. Kalau bisa nanti BLUD atau BUMD yang kemudian dia dipisahkan dari dinas. Nah disinilah kemudian kita bicara era blended finance. Kenapa ada BPDLH akan menjadi menarik kalau kemudian daerah juga bicaranya era baru pembentukan BPLHD supaya daerah bisa keluar dari ketergantungan APBN-APBD.” ungkap Joko Tri Haryanto.

Selaras dengan hal tersebut penting untuk mempersiapkan kabupaten secara kelembagaan dapat mengelola investasi hijau lewat pemenuhan indikator KDSD  yang mendorong prinsip inklusifitas atau gotong royong guna memungkinkan semua pihak mendapatkan peran sesuai dengan cakupan prioritas yang beragam antar Yurisdiksi, mencakup perlindungan gambut, perbaikan kanal, pegembangan desa peduil gambut, peningkatan kapasitas petani dan produksi,  lainnya.

“Apa yang kita pelajari terkait JA akhirnya dapat diwujudkan melalui 1 portofolio di level tapak atau perdesaan dalam pengembangan di level kabupaten. Ada 7 elemen yang sedang diuji coba untuk kawasan perdesaan, yakni perencanaan, kerangka peraturan pola gotong royong lintas pihak dan rencana aksi bersama. Hal ini diwujudkan dalam bentuk dukungan untuk pengembangan produk dan jasa ramah lingkungan ramah sosial oleh badan usaha berbasis masyarakat. Praktek JA seperti ini punya potensi menghubungkan lintas sektor termasuk komoditas, energi, limbah dan bahkan logistik. Model ini harapannya dapat dikembangkan sebagai titik awal transformasi rantai pasok” ungkap Head of Secretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari Gita Syahrani.

Dari sekian banyak upaya pengembangan yurisdiksi menuju pertumbuhan hijau, Kabupaten Seruyan merupakan salah satu kabupaten yang mendorong pertumbuhan berkelanjutan lewat sertifikasi petani mandiri dengan dukungan gotong royong pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat, seperti Inobu. Dengan keadaan ekosistem yang ada kabupaten ini juga peluang untuk mengakses pendanaan hijau yang tersedia.

“Sumber daya yang dikonversi dalam mendukung petani menuju sertifikasi erat kaitannya dengan peran pebisnis dan pemangku kepentingan penting dalam konteks sharing sumber daya entah itu dari pihak pemerintah daerah, NGO, maupun petani itu sendiri. Dukungan yang kami terima sejauh ini adalah bantuan pendampingan petani yang belum tersertifikasi. Bantuan ini dibagi menjadi 4 bentuk yakni pemetaan petani dalam rantai pasok dan penetapan standar, tenaga pakar untuk membantu pelatihan petani, pelatihan petani untuk menghadapi kebakaran hutan dan lahan, serta pembuatan pupuk berstandar sertifikasi. Saat ini perusahaan saling terlibat dalam pembagian data untuk kawasan lindung dan diharapkan pemerintah daerah dapat menyatukan protokol yang disepakati bersama dan bisa disatukan dalam revisi kebijakan tata ruang daerah. ujar Chief Legal Officer INOBU Bernadinus Steni.

 

JCAF Dialogue #3: Financing Jurisdictional Approach Toward Green Growth

EXECUTIVE SUMMARY

The Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF) held its third dialogue on October 15th, 2021, focusing on “Financing Jurisdiction Approach Toward Green Prosperity” and diving into regulatory frameworks, principles, standards, and guidelines to mobilize investments for jurisdictional-scale performance from the perspectives of the Indonesian government, non-state actors, donors, and investors. In the spirit of collective actions, JCAF aims to catalyse partnership across leading jurisdictions to advance sustainable commodity production and low carbon growth.

The recent IPCC report has been hailed as the “red code for humanity.” Limiting global warming to 1.5 degrees Celsius, reducing emissions from commodity-driven deforestation and other land-based sectors have never been so critical. The Indonesian government is committed to halting emissions by 29% independently and by 41% with international support by 2030. It has also further allocated 30%-40% of the national budget toward NDC (Nationally Determined Contribution) implementation. Catalyzing transformation toward an integrated and inclusive Jurisdictional approach (JA) offers a solution toward the pursuance of the country’s climate-change agenda.

JA promotes partnership in low carbon development and strengthens sustainable development through inclusive, innovative, sustainable financing for deforestation-free and highly productive agriculture commodities. The experiences of JA in East Kalimantan and Bio-Carbon Fund-ISLF in Jambi, supported by the UK Government and the World Bank, demonstrated that a blended finance scheme is essential to attract sustainable financing to the jurisdictions. Equally critical is the support from governments, especially regarding regulation implementation and enforcement. Forclime shared lessons learned from JA initiatives in West Kalimantan and Central Sulawesi and highlighted the need to lay out a successful benchmark. Further, the Seruyan experience provided some practical steps to implement a jurisdictional approach, such as training, funding, legal documents, shared resources and inclusivity. In conclusion, this approach provides an inspiring vision and a potential entry point for sustainable financing prospects while paving the way toward green prosperity.

JCAF Newsletter Oktober 2021

The UNFCCC COP26 and UNCBD COP 15 are critical momentums that drive the future outlook of the global climate agenda. With numerous JA works across leading jurisdictions in Indonesia, the JCAF will serve as an open platform for local leaders to meet with global business leaders and unlock investment potential.

JCAF Dialogue # 2: Launch of the Decade of Progress in Reducing Commodity Driven Deforestation in Indonesia and Malaysia

EXECUTIVE SUMMARY

This report highlights the second dialogue, “The Post-2021 UN Food Systems Summit: Indonesia Perspective,” conducted virtually on September 29th, 2021, by the Jurisdiction Collective Action Forum (JACF) collaborators. Pursuing the climate change agenda, we need transformative actions in regulating food sectors through a land-based and jurisdictional approach. The launch of the Decade of Progress Study in curbing deforestation in Indonesia and Malaysia demonstrates areas of success that resulted from Government leadership, business commitment, and civil societies, and the community’s integral role in reducing deforestation.

The Jurisdictional Approach (JA) is one way to pursue transformative food productions toward Low Carbon Development and Sustainable Development Goals (SDGs). TERPERCAYA, which is currently being piloted, was formed through a multi-stakeholder approach to develop and harmonize national and regional priorities collectively across stakeholders and sectors both at the regional and national levels. Furthermore, it will be developed and integrated into the regional plan rewards upon achievements in reconciling both economic growth and environmental protection.

The growing consumer market for sustainable commodities indicates continuous signals that drive transformative actions and commitments across supply chains through community empowerments, entrepreneurship, best-practice sharing and positive narrative building, implementing traceability systems to supply chains; and exploring JA. To advance into scalable impacts requires synergies across sectors to meet challenging priorities, and JA provides the solution to balance economic growth, improved communities welfare, and environmental protection in the cocoa sectors.

JCAF Dialogue #1: The State of Jurisdictional Approach in Southeast Asia

EXECUTIVE SUMMARY

This report presents the highlights of the first dialog “The State of Jurisdictional Approaches in Southeast Asia” that was virtually convened on the 25th of August 2021 by the Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF) collaborators. JCAF is a collaborative platform consisted of Cocoa Sustainability Partnership, Indonesia Business Council for Sustainable Development, Inisiatif Dagang Hijau, IPMI International Business School – Case Centre, Landscape Indonesia, Lingkar Temu Kabupaten Lestari, Filantropi Indonesia, Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture, and Tropical Forest Alliance.

The jurisdictional approach (JA) is “an integrated landscape approach that aims to reconcile competing social, economic, and environmental objectives through participation by a full range of stakeholders across sectors, implemented within government administrative boundaries, and with a form of government involvement at the national and sub-national levels of public administration”. Since its inception in the 2000s, JA has generated a wealth of literatures and theories which has then developed into an analytical framework to understand how JA can catalyze transformation in an administrative area and then work together and contribute in the land use sectors.

The Decade of Progress Study presentation kicked off the session by highlighting Indonesia’s achievement in bending the deforestation curve through enabling the policy system, civil society advocacy, market transformation, knowledge transformation and a web of synergy among a variety of actors. Key areas that require further explorations are: (i) to deliver value propositions for district areas to generate impact; (ii) to focus on hotspot jurisdictions where deforestation and fires remain a problem; and (iii) incentives and rewards from private and public sectors.

Gotong Royong Para Pihak Lakukan Pendekatan Yurisdiksi Kembangkan Prospek Bisnis Kolaboratif

Jurisdiction Collective Action Forum, Dialogue #1: “Pendekatan Wilayah Yurisdiksi di Asia Tenggara”

Jakarta, 2 September 2021 – Salah satu pendorong utama pendekatan yurisdiksi adalah potensi bagi pihak swasta dan pemerintah untuk memenuhi komitmen produksi komoditas yang berkelanjutan untuk mendorong agenda perubahan iklim di Indonesia. Pendekatan yurisdiksi jadi solusi di tingkat kabupaten melalui penerapan tata kelola lahan melalui indikator yang terukur dan disepakati bersama guna memperkuat standar keberlanjutan yang diakui oleh para pihak.
Pendekatan Yurisdiksi (JA) dikomandoi oleh kepala daerah dan dijalankan secara gotong royong dan terintegrasi oleh para pihak pada sebuah wilayah administratif. Aksi gotong royong ini melibatkan masyarakat adat, petani, masyarakat sipil, hingga rantai pasok dan praktisi keuangan untuk merumuskan prioritas pembangunan yang mengintegrasikan aspek sosial, lingkungan dan ekonomi guna mendorong pembangunan yang berkelanjutan.
Kendala utama dalam mengarusutamakan Pendekatan Yurisdiksi adalah ketersediaan kebijakan yang memayungi pendekatan tersebut, keberlanjutan komitmen pemerintah daerah ataupun pihak donor untuk merealisasikan dalam bentuk kebijakan dan pendanaan, serta peluang insentif pasar yang memberikan penghargaan atas hasil yang dicapai di tingkat yurisdiksi.
Diprakarsai oleh Coalition for Sustainability Partnership (CSP), Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Inisiatif Dagang Hijau (IDH), IPMI Case Centre, Filantropi Indonesia, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Landscape Indonesia, Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAgro) dan Tropical Forest Alliance (TFA) yang tergabung dalam Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF), Dialog ini mengusung tema “The State of Jurisdiction in Southeast Asia”. JCAF akan melangsungkan dialog bulanan yang dihadiri lebih dari 250 undangan dan dikurasi serta difasilitasi bersama para praktisi penerapan yurisdiksi berdasarkan prioritas dan tema yang disepakati.

JCAF berperan sebagai ruang dialog yang diharapkan dapat mendorong aksi gotong royong lintas sektor dan lintas komoditas serta memperkuat daya ungkit JA lewat mobilisasi investasi ke wilayah yurisdiksi; mengidentifikasi tantangan sekaligus peluang untuk memperkuat pendekatan para pihak ini, dan berbagi praktik terbaik. Diharapkan dialog ini menelurkan business case dan investment case yang berbasis data yang dapat mendemonstrasikan dampak dari pendekatan yurisdiksi terhadap tata kelola lahan yang baik.

Forum JCAF ini diharapkan dapat mendorong narasi positif dari tapak terkait pencapaian yang telah dihasilkan baik di tingkat kabupaten dan provinsi untuk menghasilkan komoditas yang berkelanjutan dan pencapaian pertumbuhan pembangunan yang berkelanjutan (SDG) yang dapat didemonstrasikan ke berbagai forum international.

“Melalui dialog ini rekan-rekan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang strategi yang berhasil maupun dapat mengidentifikasi kesenjangan dan harmonisasi kebijakan dari peraturan yang dibutuhkan oleh pemangku kepentingan. Serta memberikan rekomendasi yang holistik dan mengidentifikasi ide-ide kolektif lebih lanjut guna mempercepat investasi masuk ke dalam yurisdiksi.” ujar Regional Director TFA Southeast Asia Rizal Algamar.
Dalam Paris Climate Agreement 2015 yang lalu, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengintegrasikan agenda Perubahan Iklim ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Lebih lanjut komitmen ini diterjemahkan di dalam Low Carbon Development Indonesia (LCDI) serta Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai mekanisme implementasi untuk mencapai Nationally Determined Contribution(NDC). Implementasi kebijakan LCDI juga akan berkontribusi pada pencapaian Visi Indonesia tahun 2045 dalam mengutamakan pelaksanaan pembangunan rendah karbon yang berkelanjutan. Pendekatan Yurisdiksi berperan sebagai mekanisme integrasi lintas-sektoral dan lintas regional untuk mengakselerasi komitmen pemerintah di tingkat yurisdiksi.
Mitra lainnya, Proforest berkolaborasi dengan Daemeter dalam inisiatif lanskap di Siak dan Pelalawan, melalui wadah Consortium of Resource Experts (CORE), melihat penerapan yurisdiksi memberikan peluang untuk keterlibatan aktif rantai pasok dalam lanskap produksi di Indonesia dan Malaysia untuk mendukung upaya produksi komoditas yang bertanggung jawab. Hal ini disampaikan dalam sesi diskusi JCAF oleh Direktur Proforest Asia Tenggara, Surin Suksuwan,

Pada bulan Juli 2021, Kabupaten anggota LTKL telah mendeklarasikan komitmen bersama untuk mendukung target nasional untuk melindungi setidaknya 50% ekosistem penting di wilayah masing-masing Kabupaten pada tahun 2030 dengan berbagai inovasi yang mensejahterakan masyarakat. Sembilan Kabupaten yang tergabung dalam asosiasi ini adalah Kabupaten Siak, Musi Banyuasin, Sintang, Sigi, Gorontalo, Bone Bolango, Aceh Tamiang, Sanggau, dan Kapuas Hulu yang tersebar di enam provinsi. Dengan menggunakan pendekatan yurisdiksi (JA) sebagai model pembangunan sesuai RPJMN 2020-2024, Kabupaten anggota LTKL dapat mengintegrasikan mekanisme gotong royong para pihak dan lintas sektor melalui fasilitasi pemerintah pada tingkat wilayah administrasi. Model ini dapat berkontribusi nyata pada target nasional Indonesia untuk menarik investasi berkualitas ramah lingkungan, ramah sosial untuk meningkatkan daya saing daerah, membuka lapangan pekerjaan dan peluang usaha baru, serta mencegah kebencanaan dan krisis iklim

Saat ini Pendekatan Yurisdiksi telah berkembang dengan prioritas yang berbeda, baik pada konservasi hutan dan produksi komoditas berkelanjutan di wilayah Indonesia maupun Malaysia, meliputi Aceh Tamiang di Aceh, Tapanuli Selatan di Sumatera Utara, Seruyan di Kalimantan Tengah, Siak di Riau, Berau di Kalimantan Timur, Sintang di Kalimantan Barat serta negara bagian Sabah dan Sarawak.

“Masyarakat lokal menjadi stakeholders yang sangat penting untuk mempersiapkan kebijakan yurisdiksi melalui penyelarasan kebijakan nasional dan kolaborasi dari pihak swasta dengan tujuan mempersiapkan komoditas yang berkelanjutan dan pembangunan rendah karbon. Intervensi tingkat subnasional ini dapat menghasilkan proposisi nilai untuk wilayah yurisdiksi dan membuka peluang lintas komoditas. Untuk itu, Kabupaten Siak berkomitmen untuk mengintegrasikannya dengan RPJMD Kabupaten Siak bahkan sekarang sedang dalam upaya sosialisasi untuk menurunkan ke tingkat desa (RPJMDes).” Jelas Kepala BAPPEDA Siak, Riau, Wan Muhammad Yunus.

Implementasi Penerapan Yurisdiksi telah menunjukkan tanda-tanda kemajuan dalam wilayah yurisdiksi, dan hal tersebut membutuhkan upaya berkelanjutan dan keterlibatan multipihak. Hasil penting yang dicapai dari intervensi di yurisdiksi antara lain peningkatan strategi perencanaan tata ruang wilayah, komitmen pemimpin politik, kebijakan pertumbuhan hijau, pembentukan tata kelola multistakeholder, dan lain-lain. Namun, tantangan yang dihadapi menunjukkan diperlukannya dukungan regulasi terkait pendekatan yurisdiksi agar dapat diintegrasikan ke dalam perencanaan dan penganggaran baik di tingkat nasional maupun daerah. Dengan begitu, pendanaan jangka panjang dapat dialokasikan guna mendanai kegiatan prioritas tersebut baik di tingkat kabupaten atau provinsi. Selain regulasi, siklus politik dan komitmen donor adalah dua isu yang sama pentingnya untuk dibahas dalam menangani keberlanjutan pendekatan yurisdiksi.

Pendekatan Yurisdiksi merupakan pendekatan yang rasional dan bisa diterapkan (implementable) karena komponen komponennya terukur dalam penerapan tata kelola yang baik (Good Governance) di tingkat pemerintah maupun swasta. Prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan responsibilitas bisa diterapkan dengan baik. “Dengan upaya gotong royong dalam meningkatkan praktik Pendekatan Yurisdiksi, saya yakin pemerintah juga akan terbantu dalam pelaksanaan program di tingkat desa secara lebih efektif, terutama karena menggandeng masyarakat atau komunitas yang tinggal di wilayah yurisdiksi. Salah satu bukti yang bisa dilihat dari program Aksi Inspiratif Warga Untuk Perubahan (SIGAP) yang melibatkan warga di 99 desa yang ada di Berau, Kalimantan Timur. Program ini memang dirancang untuk menurunkan emisi gas rumah kaca melalui upaya pengurangan laju penggundulan dan kerusakan hutan dengan tujuan agar mampu berkontribusi dalam pengendalian perubahan iklim global.” tambah Senior Advisor Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), Wahjudi Wardojo.

Forum Aksi Kolektif Yurisdiksi (JCAF) akan menjadi yang pertama dari serangkaian dialog yang akan diselenggarakan oleh para pihak. JCAF menyediakan ruang dialog konstruktif bagi para pelaku yurisdiksi untuk mengidentifikasi kemajuan, tantangan, dan kesenjangan yang masih harus ditangani dalam konteks kerangka peraturan, peluang investasi, pasar, dan insentif. JCAF bermaksud untuk memperkuat kondisi JA saat ini di Indonesia dan Malaysia dalam semangat Gotong Royong untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan dan rendah karbon.

“JA berfungsi sebagai ruang bagi mitra multi-stakeholder yang berkomitmen untuk mematuhi prioritas produksi, perlindungan, dan inklusi dan secara bersama-sama setuju untuk membangun peta jalan bagi rencana pertumbuhan hijau untuk mencapai target menengah terkait dengan sumber dan ketertelusuran yang berkelanjutan dan melibatkan sektor swasta, masyarakat sipil, dan masyarakat. Dengan demikian kita dapat membuka kemungkinan pembeli global untuk mendapatkan komoditas berkelanjutan tersertifikasi dan terlibat dengan produsen khusus yurisdiksi.” tegas Insan Syafaat, Executive Director PISAGro.

 

JCAF Newsletter August 2021

Several jurisdictional approach initiatives to reconcile differing goals through multi stakeholder involvement are underway in Indonesia and Malaysia. The coalitions, leading jurisdiction proponents, and TFA held a dialogue called Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF) to promote the State of Jurisdictions in Southeast Asia.