Komitmen Multi-Pihak Implementasikan SDGs Melalui Pendekatan Yurisdiksi di Tanah Papua

Untuk mengarusutamakan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat yurisdiksi, diperlukan pendekatan khusus yang memungkinkan dukungan pemerintah pusat dan daerah serta mekanisme untuk mengintegrasikan partisipasi lintas sektor dan lanskap yurisdiksi. Untuk itu Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI) bersama pemangku kebijakan menyelenggarakan serial webinar bertajuk “Implementasi SDGs Melalui Pendekatan Yurisdiksi: Sebuah Contoh dari Tanah Papua” dengan tujuan memahami tantangan termasuk pengkajian IPTEK dalam melaksanakan kebijakan pemerintah yang mendukung percepatan pembangunan untuk mencapau SDGs di Papua.

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) merupakan agenda 2030 dimana kesepakatan antara pemimpin di dunia termasuk Indonesia untuk melakukan pembangunan berkelanjutan berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan (berlaku sejak 2016 hingga 2030). Webinar yang ditujukan sebagai media komunikasi lintas sektor dengan berbagai kalangan ini dihadiri oleh para pejabat penting, terdiri dari Menko Marves, Wakil Menteri KLHK, Dirjen Bina Kemendagri, Deputi Bappenas serta tokoh akademis dan ormas dari Papua.

Menurut Kemenko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, “Dalam implementasi SDGs perlu komitmen penuh dari pemerintah dan provinsi, hal ini akan mendukung ketahanan Indonesia sebagai tuan rumah G20 2022”.

“Dalam implementasinya, pendekatan yurisdiksi memiliki ciri-ciri sebagai berikut: keterlibatan multi-stakeholder; pengelolaan lanskap terpadu; tujuan keberlanjutan bersama; dan transparansi dalam pemantauan dan pelaporan” ujar Dr. Ir. Arifin Rudianto MSc, Deputi Menteri Kelautan dan Sumber Daya Alam Bappenas, dalam paparannya.

Pada sesi kesimpulan, Dr.rer.nat. Henderite L. Ohee, M.Si sebagai salah satu tokoh muda Papua menyampaikan; “Modal besar Papua adalah kekayaan SDA-nya, untuk mengelola sumber daya besar tersebut diperlukan SDM handal yang dapat mengawal perecanaan, implementasi dan pengasawasan SDGs. Kemudian dalam melakukan proses tersebut, perlu pelibatan kelompok masyarakat adat juga yang tidak kalah penting mengakomodir nilai nilai masyarakat adat”.

Menjelang penghujung acara, Direktur Eksekutif DIPI Prof. Jatna Supriatna menyampaikan; “Perlunya inovasi yang siap dan dapat diimplementasikan untuk membangun skema pendanaan besar untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan, diantaranya alokasi untuk penelitian dan pengembangan dari berbagai pihak”. Kemudian Prof Jatna, juga menyinggung perlu adanya collective action dari seluruh stakeholder untuk saling melengkapi, bekerjasama dalam memanjukan pembangunan berkelanjutan melalui pendekatan yurisdiksi untuk mencapai target SDGS di tanah Papua.

Gotong-royong Filantropi untuk Memajukan Yurisdiksi dan Pembangunan Berkelanjutan Melalui Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF)

Jurisdiction Collective Action Forum, Dialogue #8:

Jakarta, 5 April 2022 – Forum Aksi Kolektif Yurisdiksi (JCAF) #1 hingga #7 berturut-turut menghadirkan pihak pemerintah dan perusahaan swasta yang bergerak di sektor komoditas dan kehutanan setiap bulannya untuk mendorong kolaborasi dan memperkuat ekosistem guna mendorong mobilisasi investasi hijau baik di tingkat nasional maupun yurisdiksi. Tujuannya adalah untuk mendorong tercapainya pertumbuhan rendah karbon dan menuju Indonesia yang berkelanjutan (SDGs).

Pendekatan yurisdiksi (JA) adalah pendekatan lanskap terpadu untuk menyelaraskan visi ekonomi, dan lingkungan lintas sektor yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Inisiatif JA saat ini telah berkembang dengan prioritas yang berbeda di masing-masing di tingkat provinsi dan kabupaten baik di Indonesia dan Malaysia untuk menekan laju deforestasi lewat aksi mitigasi, produksi komoditas yang berkelanjutan serta pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dinakhodai pemerintah daerah pendekatan ini mendorong pelibatan multipihak lintas sektoral dengan sinergitas kebijakan, dukungan teknis, pendanaan yang diperlukan pemerintah daerah merealisasikan komitmennya mendorong pertumbuhan

“Yurisdiksi dapat menjadi strategis yang dimanfaatkan para pemangku kepentingan di daerah dalam mendorong pencapaian SDGs melalui semangat gotong royong. Pendekatan yurisdiksi yang merupakan aksi gotong royong memerlukan komitmen jangka panjang dari berbagai pihak dan berbagai lapisan dalam bentuk koalisi multi pihak yang memiliki tujuan bersama. Prinsip yurisdiksi tersebut selaras prinsip SDGs yang mendorong keterlibatan multi pihak”, ungkap Franky Welirang dalam sambutannya.

Peran filantropi penting untuk mendukung capaian SDGs baik di tingkat nasional maupun pada tingkat daerah. JCAF #8 dilaksanakan untuk memahami upaya filantropi perusahaan di lapangan dan menggali potensi kolaborasi dan memperkuat pencapaian SDGs melalui sektor filantropi. Bersama salah satu mitra JCAF, JCAF #8 dilaksanakan bersama dengan Filantropi Indonesia dan akan membahas tantangan dan peluang untuk memperkuat Kerjasama filantropi, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, dan mengidentifikasi praktik terbaik yang ada dalam memajukan yurisdiksi yang berkelanjutan, dalam mencapai Sustainable Development Goals. Filantropi diakui sebagai salah satu aktor utama pembangunan yang mendukung pencapaian SDGs (Perpres No. 59 Tahun 2017). Sebagai sebuah asosiasi, Filantropi Indonesia, secara aktif mendukung mobilisasi aksi kolektif (gotong-royong), membangun komunitas filantropis yang kuat, mendorong berbagi pelajaran dan praktik terbaik, mengkatalisasi ko-kreasi/kolaborasi semua pemangku kepentingan, dan mendukung inovasi pendanaan untuk dapat mempercepat pencapaian Sustainable Development Goals.

Salah satu keynote speaker Vivi Yulaswati, Ketua Sekretarian Nasional SDGs mengungkapkan bahwa setiap daerah memiliki kesenjangan yang berbeda dalam pencapaian SDGs. JCAF bisa membantu untuk memetakkan tujuan SDGs yang masih belum banyak diimplementasikan. Dengan demikian diharapkan pencapaian SDGs dapat tepat waktu.

“Indonesia adalah negara dengan World giving index tertinggi di dunia. Ini berarti Indonesia memiliki potensi untuk melakukan kegiatan filantrofi, terlebih karena keberagaman dan budaya gotong-royong yang kita anut. Dengan melakukan kegiatan filantrofi, kita juga melakukan social innovation dalam upaya memperbaiki masalah sosial yang ada dengan lebih proaktif, kolektif, dan terstruktur yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat.” ujar Vivi Yulaswati yang juga merupakan Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan.

“Perlu kita ingat bahwa saat ini pun, kegiatan filantrofi dipengaruhi oleh faktor peraturan atau perundang-undangan, digitalisasi dalam bentuk fund rising platform, dan adanya kolaborasi lintas negara. Pun dari sisi pemerintahan mendorong terjadinya transformasi di bidang sistem kesehatan, perlindungan sosial, transformasi digital, transformasi energi, low carbon development, dan transformasi ekonomi melalui adanya kegiatan filantrofi.” tambah Vivi.

Skema keuangan dalam hal pembiayaan atau permodalan serta peluang investasi hijau untuk mendorong penerapan Yurisdiksi secara intensif telah dibahas. Beragam model bisnis cases telah dicoba untuk menggali apa yang menjadi preferensi pasar dalam pemenuhan kriteria lingkungan, sosial dan tata kelola pemerintah (environment, social and governance-ESG), serta dari sisi investor yang terus menunjukkan minat pada opsi investasi yang berkelanjutan.

Secara khusus JCAF ke 8 menggarisbawahi tiga kegiatan utama yang telah didorong oleh sektor privat terkait pemenuhan perlindungan lingkungan, edukasi dan pemberdayaan masyarakat serta peningkatan ekonomi masyarakat sekitar.

Salah satu pelaksana kegiatan filantropi, Chief of Corporate Affairs Engagement & Sustainability L’Oreal Indonesia Melanie Masriel menggaris bawahi pentingnya value sustainability dalam menjalankan visi dan misinya. “Saat ini Loreal melakukan inisiatif guna mentransformasi lingkungan hidup, memperkuat peran perempuan yang kesemuanya berkontribusi dalam menyelesaikan tantangan di masa depan. L’Oreal menganut paradigma 3P yaitu product, people, dan planet, dimana ketiganya memiliki tujuan supaya mengembangkan diri dan menjaga ekosistem sehingga dapat berkontribusi secara berkelanjutan. Komitmen L’Oreal terbukti dalam program yang berkaitan dengan nyaris seluruh tujuan SDGs”

Lewat program yang berinti pada SDGs, Ketua Yayasan Bakti Barito Fifi Setiawaty Pangestu menunjukkan upaya korporasi mendorong inovasi penguatan agenda iklim. Beberapa fokus utama program yang dimiliki oleh Yayasan Bakti Barito antara lain di bidang edukasi, lingkungan, ekonomi sirkuler, dan sosial. Salah satu program unggulannya berfokus mendukung SDGs nomor 11 dan 12, yakni Plastic Asphalt Road, dimana hingga 2021 sudah sebanyak 37,5 juta kantong plastik yang telah dijadikan campuran aspal untuk membangun jalanan sepanjang 50,8 Km. Melalui program ini juga sudah sebanyak 282 ton sampah plastik yang telah dikelola.

Sedangkan panelis dari perwakilan kepala daerah juga menyambut positif upaya dialog bersama para pihak, secara khusus dengan sektor filantropi serta menggarisbawahi apa yang menjadi prioritas Kabupaten Seruyan.

“Produk komoditas harus dapat dipastikan keberlanjutannya agar mencapai SDGs. Pengalaman Seruyan, masing-masing tema SDGs tidak berdiri sendiri. Pendataan petani, menangani konflik, STDB, sertifikasi, semuanya terhubung satu sama lain. Karena itu, dibutuhkan dukungan multi pihak termasuk pemerintah daerah, investor, serta masyarakat setempat. Dengan adanya gotong royong ini diharapkan dapat jadi pembelajaran kebijakan untuk memperkuat Jurisdictional Approach ke depan” Sambung Bupati Seruyan H Yulhaidir.

Diskusi menggaris bawahi beragam model praktik swasta dalam konteks filantropi telah dilakukan untuk mendukung mencapai tujuan pembangunan SDGs sebagai agenda pembangunan daerah dan nasional, serta menurunkan emisi dan memperkuat ekosistem. Dari perspektif pelaku komoditas, sektor swasta dan petani kecil berbagi tantangan maupun kesempatan dalam pengurangan risiko dengan menetapkan nilai prioritas dari kolaborasi multi-pemangku kepentingan dan menunjukkan untuk beroperasi secara efektif di yurisdiksi. Serial JCAF #8 telah menunjukkan adanya upaya progresif dari berbagai yurisdiksi seperti Siak di Riau, Seruyan di Kalimantan Tengah untuk mendorong tercapainya agenda SDGs dan mendorong kolaborasi lintas pihak, selain filantropi untuk merealisasikan target bersama dari tingkat yurisdiksi hingga nasional

“Bersama-sama kita perlu mendorong dan bergotong-royong dengan berbagai pihak dan memetakan bersama akan apa yang sudah dan belum dilakukan. Dengan demikian kolaborasi dan permodalan dapat berkontribusi luar biasa kepada sekretariat SDGs.” tutup Deputi Baznas RI sekaligus Chairman of the Supervisory Board Filantropi Indonesia, Mohammad Arifin Purwakananta pada penghujung acara JCAF #8.

Gotong-royong Mendorong Pembangunan Indonesia Melalui Siak Hijau

Jurisdiction Collective Action Forum, Dialogue #7:

Jakarta, Maret 2022 – Dalam sambutannya untuk membuka Forum Aksi Kolektif Yurisdiksi (JCAF) yang ke-7, Wakil Bupati Siak, M. Husni Merza menyampaikan komitmen untuk mendorong pembangunan Siak Hijau serta menggarisbawahi pentingnya dukungan teknis para pihak, akses pendanaan serta mengundang kerja sama para pihak untuk mendukung tercapainya pertumbuhan Siak Hijau.

Kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2015 menyebabkan kerugian sebesar 16,1 triliun rupiah bagi Kabupaten Siak. Namun dengan inovasi dan komitmen pemerintah kabupaten dalam perlindungan hutan dan areal gambut, peningkatan ekonomi masyarakat, perlindungan daerah aliran sungai serta hilirisasi lingkungan yang bertopang pada komoditas lintas sektor mampu melesatkan Kabupaten Siak hingga dicanangkan sebagai Kabupaten Hijau oleh Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, pada saat Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Tingkat Nasional Tahun 2016 lalu.

“Siak memiliki hutan konservasi, kekayaan suaka marga satwa, sumber daya alam seperti mineral dan gas bumi, serta komoditas padi dan palawija. Untuk menjaga potensi ini, kami berkomitmen melalui Visi Siak Hijau. Namun dalam pelaksanaannya, tentu dibutuhkan dukungan terutama dalam melalui teknis dan pendanaan dalam bentuk diskusi mendalam dengan berbagai pihak demi mencapai penguatan social capital di Kabupaten Siak maupun kabupaten lain yang akan mengadopsi rencana pembangunan hijau seperti di Siak.” Ujar Wakil Bupati Kabupaten Siak M. Husni Merza.

Selaras dengan semangat dan capaian kabupaten Siak, Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, BAPPENAS Dr. Arifin Rudiyanto menyampaikan, “Kabupaten Siak berhasil menurunkan titik api ke tingkat terendah sekaligus meningkatkan produksi sekaligus pendapatan petani menjadi dua prestasi penting yang menunjukkan bagaimana pembangunan rendah karbon yang berketahanan iklim tidak hanya berpengaruh positif terhadap lingkungan sekaligus juga perekonomian masyarakat. Seterusnya intervensi dan upaya pencegahan perubahan iklim untuk menekan bahaya atas perubahan iklim dan kerugian ekonomi yang ditimbulkannya. Ekonomi hijau sebagai game changer dalam Strategi Transformasi Ekonomi untuk mendorong Indonesia lepas dari Middle Income Trap sebelum tahun 2045.”

Selanjutnya, Kepala Bappeda Kabupaten Siak Wan M. Yunus turut menegaskan bahwa dalam implementasinya, seluruh rencana kegiatan setiap OPD akan secara luas disusun berdasarkan target pencapaian RPJMD Kabupaten Siak yang disusun berdasarkan prinsip Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai upaya penerjemahan komitmen Siak Hijau ini.

Namun dalam proses penerapannya, beragam tantangan dihadapi untuk mengharmonisasi regulasi dari pusat hingga ke tingkat tapak, mendorong sebuah perencanaan dan penganggaran jangka panjang untuk mengisi kesenjangan serta mendorong masuknya investasi hijau untuk mendukung rencana pengembangan Kabupaten Siak. Untuk itu, dalam pendekatan Yurisdiksi yang digawangi oleh pemerintah kabupaten, ada empat aspek yang perlu diperkuat juga didorong. Dr. Joko Tri Haryanto menegaskan, “Membenahi sinergisitas pendanaan dan memanfaatkan TAKE, selain forum CSR, dalam skema pembayaran jasa lingkungan, penguatan kerjasama dengan BPDLH serta mendorong lahirnya Investment Relation Unit di level daerah untuk bertugas secara professional mengelola kelembagaan investasi di daerah ke depannya. Investment Relation unit ini akan berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lain yang terkait, misalkan BKPMD dan DPMPTSP untuk menyukseskan misi investasi daerah. Serta perluasan penetrasi pasar seperti yang sedang dilakukan dalam forum JCAF ini”

Di sisi lain, peran para pihak lain seperti pihak swasta dan pasar menjadi penting untuk mendukung program Siak Hijau baik untuk perlindungan lingkungan dan juga pelibatan masyarakat. Seperti yang telah disampaikan oleh Executive Vice President of Sustainability Astra Agro Lestari (AAL) Bandung Sahari turut mendukung program Siak Hijau melalui Kegiatan Patroli Bersama yang melibatkan masyarakat, TNI, Polri, Satpol PP, dan perangkat desa, dan program perlindungan hutan gambut guna mencegah dan menanggulangi kebakaran. AAL juga melibatkan warga setempat lewat program tanggung jawab sosial perusahaan dalam bentuk pelatihan entrepreneurship, pemberian beasiswa, pengadaan dan pelatihan posyandu, dan program desa peduli gambut.

Dari dialog ini dapat disimpulkan bahwa komitmen Pemerintah Kabupaten Siak dalam upaya pembangunan berkelanjutan dan rendah karbon nasional terwujud melalui penerapan Siak Hijau. Visi Siak Hijau telah berjalan dan diarustamakan ke dalam regulasi dan peraturan daerah. Kabupaten Siak sebagai berupaya menjadi Pilot Pembangunan Berkelanjutan dan Rendah Karbon di Indonesia (SDG/LCDI) di tingkat kabupaten.

Perjalanan panjang ini perlu gotong-royong dan dukungan mitra pembangunan lintas sektor, terutama dukungan teknis dan pendanaan dari pusat untuk mengoptimalkan kontribusi Siak mencapai target nasional. Untuk mempercepat dan menjadikan upaya ini lebih efektif, maka perlu penyiapan aspek regulasi, sinergi sumber pendanaan, penyiapan aspek kelembagaan, dan penetrasi pasar perluasan sumber daya. Seperti yang disampaikan Asisten 1 Kabupaten Siak, Budhi Yuwono, bahwa “Visi Siak Hijau telah berjalan dan diarustamakan ke dalam regulasi dan peraturan daerah. Kabupaten Siak sebagai berupaya menjadi Pilot Pembangunan Berkelanjutan dan Rendah Karbon di Indonesia (SDG/LCDI) di tingkat kabupaten. Diperlukan diskusi tindaklanjut dengan kementerian teknis dan mitra pembangunan untuk merumuskan sinergi sumber pendanaan, penguatan aspek regulasi, penyiapan aspek kelembagaan, dan penetrasi pasar”

Forum multi pihak, JCAF #7 Kabupaten Siak, diselenggarakan untuk mendorong aksi gotong royong di tingkat yurisdiksi yang kali ini bertujuan untuk memetakan potensi instrumen pendanaan dan skema pembangunan yang bisa mendorong ketahanan iklim dan keterlibatan masyarakat yang berkelanjutan di Kabupaten Siak. JCAF memfasilitasi dialog untuk memahami apa yang menjadi kemajuan, tantangan, dan kesempatan untuk berkolaborasi, dalam konteks kerangka peraturan, peluang investasi, pasar, dan insentif. JCAF hadir untuk memperkuat ekosistem di tingkat Yurisdiksi dan mendorong semangat gotong royong untuk mencapai Tujuan Nasional menuju Pembangunan Rendah Karbon dan Pembangunan Berkelanjutan di wilayah yurisdiksi.

 

Gotong-royong Membangun Inovasi Finansial dan Kemitraan untuk Bangun Pendekatan Yurisdiksi

Jurisdiction Collective Action Forum, Dialogue #6:

Jakarta, 8 Februari 2022 – Saat ini pendekatan yurisdiksi (jurisdical action/JA) dilaksanakan untuk mendorong pembangunan yang mencakup perlindungan hutan, produksi komoditas yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat melampaui beragam sektor komoditas dan pihak. Lewat Forum Jurisdiction Collective Action (JCAF), para pelaku bisnis, pemerintah nasional maupun regional serta civil societies saling berbagi pengetahuan dan pengalaman strategis dalam implementasi penerapan pendekatan yurisdiksi yang beragam di Indonesia dan Malaysia.

Dihadiri oleh lebih dari 950 peserta, JCAF menyediakan ruang untuk para pihak berkontribusi ide yang konstruktif dalam mengidentifikasi tantangan, peluang, dan prioritas untuk mendukung pemerintah dalam mencapai penurunan deforestasi.

JCAF secara konsisten menghadirkan pemangku kepentingan strategis, baik dari pemerintah, nasional maupun sub-nasional serta perusahaan dan masyarakat dari sektor komoditas untuk membahas beragam prioritas lintas sektoral dan secara multi-pihak yang telah berjalan di beberapa yurisdiksi di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Secara khusus, JCAF kali ini membahas pentingnya peran pembiayaan guna mendorong masuknya investasi hijau pada sebuah yurisdiksi untuk mendorong tercapainya target rendah karbon (Low Carbon Development Indonesia (LCDI) yang selaras dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).

Dalam JCAF #6 kali ini dihadiri oleh 234 peserta yang membahas tentang pola kolaborasi dalam pembentukan kelembagaan institusi pada tingkat tapak, dukungan asistensi untuk petani serta komitmen pemerintah daerah untuk dorong masuknya investasi hijau. Dari para pembicara kita mengetahui telah banyak sinyalemen pasar dan produsen untuk mengedepankan faktor lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) menunjukkan meningkatnya minat investor terhadap investasi yang berkelanjutan.

Inisiatif Dagang Hijau (IDH), sebagai penyelenggara JCAF #6 melalui Direktur Program, Nassat D. Idris, membuka diskusi dengan memberikan konteks kebutuhan pembiayaan campuran yang dikelola secara terintegrasi untuk mewujudkan visi bentang alam berkelanjutan. IDH bersama mitra lainnya sedang membangun model yurisdiksi berkelanjutan di 6 Provinsi fokus termasuk Aceh, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Papua, dan Papua Barat yang diidentifikasi memiliki berbagai nilai sebagai penghasil komoditas perkebunan dengan rantai pasok global dan sekaligus memiliki nilai keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan lainnya serta keterlibatan masyarakat sebagai aktor utama dalam rantai pasok. IDH bersama Pemerintah dan mitra pembangunan lainnya membangun visi bentang alam berkelanjutan yang dituangkan dalam rencana pertumbuhan hijau berbasiskan komponen produksi, proteksi, dan inklusi. Dalam rencana pertumbuhan hijau tersebut telah diidentifikasi peluang investasi hijau. Namun, sebagian besar kondisi portofolio investasi yang ada masih dalam tahap inkubasi yang memerlukan kombinasi investasi untuk kondisi pemungkin (enabling) dan investasi aset untuk menjadi portofolio yang dapat memberikan dampak kepada peningkatan kesejahteraan dan lingkungan hidup.

Selama pemulihan pandemi Covid-19, juga diperlukan dukungan finansial serta pembangunan infrastruktur yang memadai. Perlu dipastikan pengadaan infrastruktur jadi kebutuhan dasar rencana pembangunan jangka panjang tahun ini, menurut CEO PT SMI Edwin Syahruzad.

“Kami sedang mempersiapkan diri untuk mendukung Indonesia sebagai penyelenggara G20 melalui serangkaian tema dan isu prioritas yang diamanatkan oleh Bapak Presiden, yaitu mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui transisi energi dengan mendorong keterlibatan swasta di B20, di sektor Energy, Sustainability, & Climate Business Entities, Associations, & Think-Tank dalam mengakselerasi pencapaian SDGs. Meskipun saat ini skema PT SMI masih terfokus pada pendanaan untuk sektor infrastruktur, namun dengan masuknya dana Green Climate Fund, kami kini mempelajari pengembangan program di sektor land-use dan potensi untuk menghubungkan pengelolaan proyek di tingkat yurisdiksi dan kemungkinan mengembangkan blended finance ke sektor pertanian kedepannya.” Edwin juga menambahkan komitmen dan juga kepemimpinan Pemerintah Daerah adalah faktor kunci terselenggaranya Kolaborasi PPP di tingkat sub nasional.

Ada beberapa skema pembiayaan dan investasi untuk kegiatan ‘hijau’ yang tersedia di tingkat nasional yang dapat di akses di daerah.

Indra Darmawan, Penasihat Senior Ekonomi Kementerian Investasi/BKPM mengatakan, pemerintah memiliki berbagai perangkat fiskal dan dana melalui organisasi anggaran sektoral atau kementerian terkait. Fasilitas pembiayaan ini sudah tersedia di tingkat nasional dan dapat digunakan oleh pemerintah daerah juga. Contohnya, Pemerintah mendanai 27% dari total $365 miliar untuk mencapai target NDC antara 2020-2030 diikuti potensi sektor swasta berkontribusi hingga 33%.

Anggaran Pemerintah provinsi termasuk beberapa hibah khusus seperti DAK Fisik/non-Fisik, dan Dana Desa serta metode transfer fiskal ekologis, juga tersedia dalam dana APBN.

“Diperlukan stimulasi untuk mendorong pembangunan berkelanjutan di daerah-daerah dan melibatkan sejumlah besar investor melalui kemitraan antara banyak pihak, pemerintah dan non-pemerintah. Ini momentum yang baik. Pemerintah daerah dengan sektor lokal dapat membentuk mekanisme kerja sama pemerintah-swasta untuk dapat mendorong pembangunan berkelanjutan di daerah-daerah dimana kita sangat terbuka untuk adanya pengembangan dan perbaikan ke depan.” Tegas Indra Darmawan.

Direktur Eksekutif Bumitama Agri Christina Lim berpendapat pelaku bisnis harus dapat menghubungkan upaya konservasi dengan valuasi ekonomi agar masyarakat sekitar dapat mandiri dan berkelanjutan. Beberapa program berbasis masyarakat yang didorong oleh Bumitama salah satunya lewat program sertifikasi petani kecil dan pre-financing to plasma. “Saat ini bisnis tidak lagi membicarakan tentang bisnis melainkan mendorong konservasi berbasis komunitas dengan melakukan engagement yang dapat diterapkan dan direplika oleh wilayah lain yang juga membuka kesempatan bagi stakeholder dan juga investasi masuk agar dapat di-scale up.” jelas Christina.

Webinar JCAF Dialogue #6 kali ini bertujuan untuk mewadahi dialog yang konstruktif dan berbasiskan solusi untuk mempererat kolaborasi mendorong pertumbuhan Indonesia yang rendah karbon lewat berbagai prioritas. Aksi kolektif yurisdiksi virtual dialog putaran keenam ini diselenggarakan bersama Inisiatif Dagang Hijau (IDH) yang akan membagikan pembelajaran model pendekatan lanskap berdasarkan rantai komoditas berkelanjutan yang membawa kemajuan pada tata kelola, transformasi bisnis, dan kegiatan tingkat lapangan juga sebagai tantangan dalam mengembangkan dampak proyek dalam skala besar. Pengetahuan saat ini di antara para peserta tentang praktik berkelanjutan dengan hutan dunia menjadi beberapa isu yang memotivasi mengenai Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS), modal intensifikasi yang proporsional dan peluang untuk meningkatkan potensi kelayakan untuk sumber produksi yang diverifikasi dan keuangan di rantai pasokan yurisdiksi regional.

IDH dengan mitra global saat ini mengembangkan model Rencana Pertumbuhan Hijau yang menghubungkan pasar global (Eropa, Belanda) dengan entitas nasional, provinsi, atau lokal dan swasta pada area produksi. Di Asia Tenggara, sektor publik memegang tanggung jawab utama untuk pemberian layanan dan sektor swasta menyediakan layanan, dengan demikian berbagi risiko dan imbalan, untuk mencari dukungan dari proses hingga kinerja melalui cara yang saling melengkapi. Hasil gabungan akan membuktikan transformasi perjalanan sederhana, mekanisme efektif bagi konsumen untuk mengklaim sumber daya berkelanjutan yang diverifikasi dan dampak nyata dan nyata untuk investasi. Bagi para pemimpin Yurisdiksi, Kerja sama pemerintah-swasta (PPP) dapat menjadi peluang penting untuk mengembangkan potensi wilayah mereka sebagai elemen tambahan dari proposisi nilai global, serta memberi penghargaan kepada yurisdiksi yang berkinerja progresif.

Sementara itu di tingkat Kabupaten, Pemerintah siap untuk menjalankan skema blended finance dan bermitra dengan pihak swasta untuk mengolah dana luar selain pendanaan lokal seperti dana APBN, APBD provinsi dan kabupaten, ADD untuk meningkatkan kontribusi PDRB Kab Kubu Raya yang saat ini sebesar 29,1T

Strategi kepung bakul dilakukan untuk mendorong kolaborasi antara SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan petani kecil guna membangun ekonomi hulu hingga hilir dan memetakan isu lewat skema zonasi untuk hindari intervensi ganda dan tepat sasaran.

Secara Geografis, Kabupaten Kubu Raya terletak di sisi Barat Daya Provinsi Kalimantan Barat dan merupakan pintu gerbang Provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Kubu Raya terdiri dari 9 kecamatan, 118 desa dan 5 desa persiapan dengan Sungai Raya sebagai Ibu Kota Kabupaten. Lokasi ini menjadikan Kabupaten Kubu Raya memiliki potensi di bidang pertanian dan hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan, serta kawasan hutan mangrove yang terluas di Kalimantan Barat.

Pasca berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah, kewenangan bidang kehutanan berada di tingkat provinsi, sedangkan kabupaten tetap memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dinamika permasalahan kawasan hutan memberikan tantangan tersendiri dalam perencanaan pembangunan di Kubu Raya.

“Perubahan pola pemanfaatan pasca logging bertujuan untuk mencari solusi pemanfaatan hutan dengan skema Perhutanan Sosial. Tercatat kurang lebih 32 izin Hutan Desa yang ada di Kubu Raya, namun keberadaan perizinan ini belum optimal dalam meningkatkan IDM desa-desa di sekitarnya. Secara kemitraan, pemerintah Kubu Raya terus memfasilitasi penerbitan perizinan Hutan Desa dan peningkatan kapabilitas Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) guna memberikan akses kepada masyrakat dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan sekaligus melaksanakan SDGs kita mengejar ekonomi, investasi boleh masuk tapi lingkungan harus tetap kita jaga.” Jelas Kepala BAPPEDA Kubu Raya, Amini Maros.

Upaya kepong bakol atau gotong royong melalui penjaringan mitra pembangunan dan pemegang kewenangan guna memperkuat pendampingan terhadap masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Keterbatasan APBD membuat pemerintah berinovasi mencari alternatif pendanaan dan membuka peluang investasi hijau berdasarkan potensi yang ada di Kubu Raya.

 

Gotong-royong Membangun Perspektif Petani Swadaya Menuju Keberlanjutan

Jurisdiction Collective Action Forum, Dialogue #5

Jakarta, 20 Desember 2021 – Petani kecil atau swadaya merupakan aktor penting yang memiliki peran besar dalam rantai pasok komoditas pertanian. Salah satu contohnya adalah petani kakao diestimasikan mengelola lahan seluas 1.497.467 Ha[1].

Sebagai bagian dari rantai pasok, para petani kakao memiliki visi pragmatis dan inspiratif dalam meningkatkan produktivitas komoditasnya bersama seluruh aktor di rantai pasok lainnya untuk mengurangi tantangan terhadap perluasan lahan. Dalam praktiknya, proses tersebut membutuhkan pendekatan terpadu di tingkat yurisdiksi dengan cara menyelaraskan tujuan keberlanjutan lingkungan serta pertumbuhan ekonomi pada sebuah wilayah administratif, yang dikenal sebagai Pendekatan Yurisdiksi (Jurisdiction Approach/JA). JA menjadi komponen strategis yang memotivasi partisipasi seluruh pemangku kepentingan untuk mendukung peningkatan sumber-sumber produksi, khususnya bagi petani Kakao.

Dialog Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF) ke-5 menjadi wadah dialog strategis   para pemimpin bisnis untuk mengupayakan penerapan bisnis yang berkelanjutan, mendorong perlindungan keanekaragaman hayati dalam sebuah wilayah ekosistem, lanskap hingga yurisdiksi yang berkontribusi pada pencapaian global, serta merancang Business case, Investment Case dan Policy Brief untuk melihat tantangan serta peluang untuk bisa memobilisasi investasi hijau masuk di sebuah Yurisdiksi yang memiliki komitmen.   Diprakarsai oleh Cocoa Sustainability Partnership (CSP), Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Inisiatif Dagang Hijau (IDH), IPMI Case Centre, Filantropi Indonesia, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Landscape Indonesia, Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAgro) dan Tropical Forest Alliance (TFA) yang tergabung dalam  kolaborasi mengarusutamakan pendekatan yurisdiksi melalui Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF).

Sebagai salah satu inisiator JCAF, lead secretariat JCAF, Rizal Algamar melihat dialog JCAF yang sudah dilangsungkan selama lima kali melihat ini sebagai bentuk kolaborasi strategis untuk mendorong realisasi investasi masuk ke yurisdiksi yang didorong bersama-sama lintas sektoral oleh para pihak untuk mendukung capaian pemerintah baik di Indonesia maupun di Malaysia.

“Sebuah apresiasi terhadap komitmen pemerintah dalam pembangunan rendah karbon dan sustainable forest management (SFM) yang tercermin dalam penurunan laju deforestasi yang signifikan. Capaian ini didukung juga oleh kontribusi para pihak seperti: swasta baik dari sektor cocoa, kelapa sawit, forestry; masyarakat sipil lewat upaya restorasi, inklusivitas petani swadaya dan praktek pertanian berkelanjutan serta penghargaan hak masyarakat adat. Dialog lintas pemerhati dan praktisi Jurisdiksi menjadi penting untuk mendorong akselerasi investasi hijau dan keterlibatan antar pihak untuk mendorong capaian pemerintah, sekaligus solusi kongkrit atas komitmen pemerintah dalam pencapaian NDC dan menjaga suhu bumi dibawah 1,5 derajat

Sebagai salah satu kolaborator dalam kegiatan ini, Cocoa Sustainability Partnership (CSP) sebagai forum kemitraan multipihak, bekerja bersama dengan anggotanya mengupayakan peningkatan kesejahteraan petani melalui peningkatan produktivitas dan mutu kakao secara nasional. “Hal penting yang ingin ditekan dalam pencapaian sebuah kondisi kakao yang berkelanjutan di Indonesia, CSP menggunakan sebuah peta jalan untuk mengukur pencapaian penerapan inisiatif-inisiatif kolektif dari para pihak. Setiap tahunnya, pencapaian tersebut menjadi patokan utama dalam perancangan inisiatif kolektif di masa mendatang,” kata Wahyu Wibowo, Direktur Eksekutif CSP. Ia juga menambahkan bahwa peta jalan pengembangan kakao berkelanjutan di Indonesia juga telah dikoordinasikan dan disinergikan dengan kebijakan program-program pemerintah di beberapa kementerian terkait.

Selaras dengan hal tersebut, pemerintah menunjukan dukungan arah kebijakan secara nasional lewat pengembangan daya saing koperasi dan petani berdaya saing, inovatif, dan berkelanjutan. Kementerian Koperasi dan UKM mengungkapkan memiliki fasilitas untuk meningkatkan kapasitas daya saing teknis bagi Koperasi dan Petani Kecil (UKM), serta beberapa pelatihan untuk meningkatkan standar, prosedur dan kriteria produk untuk pasar ekspor potensi dan peluang bisnis yang lebih luas dan berkelanjutan. Sustainability (keberlanjutan) merupakan prioritas yang harus diperhatikan UMKM karena sustainability dan environmentally friendly product menjadi fokus utama pemerintah untuk memenuhi komitmen dalam Sustainable Development Goals (SDGs).

Di beberapa kabupaten yang terdepan, koperasi menjadi wadah serta peluang petani kecil untuk meningkatkan kapasitas praktek pertanian maupun hasil produk yang berkualitas, sekaligus berpartisipasi dalam rantai pasok. Upaya ini menunjukkan kemampuan petani cocoa melalui kelembagaan koperasi dapat memenuhi permintaan global yang konsisten akan komoditas cocoa. Dalam mendorong kuantitas dan kualitas produk UKM, tahun ini kami telah memulai program rumah produksi bersama di Aceh dengan produk nilam, Kalimantan Timur dengan produk biofarmaka, Sulawesi Utara untuk produk olahan kelapa, NTT dengan produk olahan daging sapi, serta Jawa Tengah dengan produk rotan.

Mendukung yang telah disampaikan sebelumnya, Prof Dodik Nurochmat, Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor, ” Perguruan Tinggi telah menemukan komoditas agroforestri yang sesuai untuk masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Komoditas agroforestry ini memberikan nilai ekonomi tinggi, pendapatan cepat dan sekaligus sebagai media untuk menjaga hutan. Kakao merupakan salah satu tumbuhan yang sesuai karena memerlukan naungan. Kami memiliki beberapa model yang sukses dikelola secara berkalnjutan oleh kelompok tani di Sumatera dan Sulawesi. Seandainya ini dipandang cukup baik, mungkin bisa kita kembangkan lebih luas di tempat lainnya.

Salah satu bukti inisiatif pemberian nilai tambah produksi kakao petani adalah dengan pasar biji kakao fermentasi. Bersama Yayasan Kalimajari, Koperasi Kakao Serta Semaya Samaniya di Jembrana memfasilitasi petani kakao rakyat dengan mengedepankan produksi biji kakao premium. “Pendekatan gotong royong dalam pola kemitraan dengan membangun kolaborasi yang kuat antara petani, koperasi, pasar kakao premium, lembaga perbankan, lembaga penelitian, dan pemerintah. Dengan kolaborasi dan kemitraan seperti ini dipercaya mampu meningkatkan kapasitas petani dan koperasi sebagai ujung tombak implementasi program di tingkatan masyarakat,” ungkap I Ketut Wiadnyana, Ketua Koperasi Kakao Serta Semaya Samaniya.

Selain di Kabupaten Jembrana, Bali, Koperasi Wanita Masagena yang berlokasi di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan berinovasi dalam menerapkan praktik pertanian yang berkelanjutan. Pola ini membantu petani untuk mengubah praktek sebelumnya yang memerlukan biaya yang tinggi dan produksi yang kurang optimal. “Jika dilihat lebih dalam, praktik pertanian berkelanjutan sebenarnya akan memberikan nilai tambah bagi petani. Posisi tawar petani akan semakin menguat, dan pasar-pasar internasional yang mengedepankan isu keberlanjutan juga akan terbuka lebar,” kata Ayu Antariksa Rombe, Ketua Koperasi Wanita Masagena. Pendekatan yang ditempuh koperasi Masagena adalah membangun relasi personal dan komitmen bekerjasama dengan  petani.

Pihak industri pengolahan kakao disisi lain, juga berkomitmen terhadap pengembangan kakao yang berkelanjutan. Jeffrey Haribowo dari Mars yang berpartisipasi sebagai narasumber dalam sesi diskusi menggarisbawahi “Kakao adalah komoditas yang memerlukan perawatan intensif. Untuk itulah kenapa 90% kakao di seluruh dunia dikembangkan oleh pekebun rakyat, termasuk di Indonesia. Kami ada karena petani, dan selama keberadaan kami di Indonesia kami melihat dan mendengar langsung tantangan yang kompleks  dihadapi oleh para petani kakao. Dari situlah lahir strategi Cocoa for Generations yang memiliki dua pilar utama, yakni Responsible Cocoa Today dan Sustainable Cocoa Tomorrow,” demikian disampaikan Jeffrey Haribowo, Direktur Bidang Korporat dari Mars. Ditambahkan pula bahwa melalui strategi ini, Mars berkomitmen untuk mendorong perubahan jangka panjang pada rantai pasokan kakao, membuka peluang baru bagi petani, keluarga mereka dan masyarakat sekitar, sembari memastikan perlindungan sumber daya hutan dan perlindungan anak.

Pemerintah Indonesia memiliki kemampuan besar dalam mengolah komoditas lokal. Upaya yang dilakukan sejauh ini adalah mempromosikan komoditas tersebut ke pasar Internasional,  mendorong sertifikasi komoditas produksi  petani kecil dan mandiri, serta meningkatkan pemberdayaan dan kapasitas daya saing teknis  petani kecil dan swadaya dalam konteks koperasi sehingga mereka  dapat mengakses pasar Internasional.

“Korporasi Petani Kecil menjadi payung bagi petani kecil binaan sesuai dengan standar Good Agriculture Practice dan peraturan terkait perdagangan yang bertanggung jawab dan produksi yang berkelanjutan.” ujar Direktur Ekspor Hasil Pertanian dan Kehutanan – Kementerian Perdagangan Asep Asmara.

Pertumbuhan pasar internasional dan perdagangan komoditas berkelanjutan saat ini membuka banyak peluang untuk perusahaan petani kecil dengan menerapkan sistem jual-beli produk bersertifikat mutu internasional. Standar praktik pertanian yang baik (Good Agriculture Practice) menuju produksi dan konsumsi yang berkelanjutan diterapkan untuk menciptakan ekosistem rantai pasok yang baik sehingga perkembangan manusia menuju kesejahteraan dapat dipertanggungjawabkan.

 

Strategi Gotong-royong Aksi Lokal, Atasi Krisis Iklim Global

Jurisdiction Collective Action Forum, Dialogue #4:

Jakarta, 3 Desember 2021 – Perlindungan ekosistem keanekaragaman hayati beserta hutan hujan tropis adalah upaya penting untuk menahan laju suhu bumi dibawah 1,5 derajat. Sebagai salah satu penyumbang emisi, sektor pangan dan penggunaan lahan menghadapi tantangan bagaimana menerapkan produksi komoditas pangan yang berkelanjutan sebagai upaya konkrit untuk menghadapi potensi ‘krisis iklim’.

Agenda perubahan iklim dapat dicapai secara gotong royong dengan  melibatkan para pihak dengan semangat  pertumbuhan hijau yang tidak hanya menjamin  kesejahteraan  ekonomi masyarakat tetapi juga  melindungi lingkungan. Pada konferensi tingkat tinggi UNFCCC COP 26 dan UNCBD COP 15 (Part 1), para   pemimpin negara produser, konsumer, bisnis, masyarakat sipil menyepakati untuk berkomitmen mencapai pertumbuhan net zero dengan pendekatan yang transformatif. Pendekatan Yurisdiksi sebagai salah satu inovasi yang mendorong partisipasi lintas pihak, sektor dan aktor dalam suatu tatakelola administrasi Pemerintah Daerah untuk pertumbuhan sosial ekonomi dan lingkungan yang seimbang. Pendekatan ini dikomandoi oleh Pemerintah Daerah yang didukung oleh para pemangku kepentingan didaerahnya.

Sebagai salah satu penandatangan kesepakatan Paris, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di UNFCCC COP 26, menyampaikan secara tegas bahwa Indonesia berkomitmen dalam mendorong Agenda Perubahan Iklim yang ditunjukkan dalam penurunan laju deforestasi yang signifikan. Visi pemerintah ini selaras dengan empat tujuan yang diusung dalam UNFCCC COP 26 tahun ini yaitu menuju pembangunan dunia net-zero guna menahan laju panas bumi dibawah 1,5 derajat celcius, melindungi masyarakat dan ekosistem, serta melakukan  mobilisasi keuangan. Keberhasilan Pemerintah Indonesia dalam menurunkan deforestasi sebesar 75,03% di periode tahun 2019-2020 hingga ke angka 115,46 ribu Ha[1] menjadi bukti nyata akan konsistensi komitmen  pemerintah.

Oleh karena itu, memahami implikasi UNFCCC COP 26 yang menitikberatkan kepada keanekaragaman hayati pada skenario perubahan iklim global sangat penting dalam mengembangkan respons yang tepat dalam sektor komoditas pertanian. Demikian pula, konferensi keanekaragaman hayati UNCBD COP 15 (Part 1), yang dihadiri oleh negara anggota CBD, para pihak mendorong kesepakatan untuk menempatkan keanekaragaman hayati sebagai salah satu  agenda pemulihan alam pada tahun 2030 sebagai upaya pencapaian visi bersama di tahun 2050 yaitu “living in harmony with nature”.

Komitmen yang dituangkan oleh pemerintah, sektor swasta dan kelompok masyarakat sipil pada kedua konferensi iklim COP UNFCC COP 26 dan UNCBD COP 15 selaras dengan pendekatan yurisdiksi dimana menempatkan semangat gotong royong atau pelibatan para pihak sebagai elemen kunci untuk mendorong transformasi tata kelola ekosistem di skala yurisdiksi. Pendekatan yurisdiks (JA) dapat menjadi visi pragmatis dan inspiratif untuk mencapai keberlanjutan lintas sektor yang akan membantu memastikan stabilitas iklim dan konservasi keanekaragaman hayati sambil mengejar kesejahteraan dan kemakmuran manusia.

Dialog Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF) ke-4 menjadi wadah dialog strategis   para pemimpin bisnis untuk mengupayakan penerapan bisnis yang berkelanjutan, mendorong perlindungan keanekaragaman hayati dalam sebuah wilayah ekosistem, lanskap hingga yurisdiksi yang berkontribusi pada pencapaian global, serta merancang rencana strategis yang akan dibahas lebih lanjut di UNFCCC COP 27 dan UNCBD COP 15 (Part 2). Diprakarsai oleh Cocoa Sustainability Partnership (CSP), Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Inisiatif Dagang Hijau (IDH), IPMI Case Centre, Filantropi Indonesia, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Landscape Indonesia, Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAgro) dan Tropical Forest Alliance (TFA) yang tergabung dalam  kolaborasi mengarusutamakan pendekatan yurisdiksi melalui Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF).

Southeast Asia Regional Director Proforest Surin Suksuwan mengungkapkan “Indonesia telah mencapai kemajuan besar  terkait penurunan laju deforestasi dan reduksi karbon. Namun sayangnya upaya ini belum diketahui luas ke dunia internasional. Dalam COP 26 kemarin, Pemerintah Indonesia sangat jelas berkomitmen untuk menahan laju peningkatan suhu  bumi dibawah 1,5 derajat Celcius; para pemangku kepentingan dari non-state actor siap untuk turut serta mendukung dan menyelaraskan strategi dan membangun peta-jalan  bersama-sama. Salah satunya adalah melalui melalui pendekatan yurisdiksi (JA) dengan memperkuat praktek gotong-royong.”

General Manager Group Sustainability Wilmar International, Pepertua George menjelaskan, “Sektor swasta terus menunjukan komitmen dan inisiatif yang jelas pada saat COP 26 terhadap dekarbonasi. Salah satunya Wilmar, sebagai salah satu dari 12 perusahaan perdagangan dan pengolahan agrikultur global, Wilmar berkomitmen untuk membangun peta jalan sektoral untuk meningkatkan aksi rantai pasokan sesuai dengan komitmen menahan laju peningkatan suhu dibawah 1,5 derajat celcius untuk dapat dipublikasikan pada COP 27.”

Pepertua menambahkan bahwa penting bagi semua pemangku kepentingan, terutama sektor swasta dengan pemerintah, untuk menyelaraskan pendekatan maupun strategi untuk saling bekerja sama dalam mengembangkan dan mewujudkan tujuan multisektoral yang dipetakan selama COP 26.

Indonesia pun telah menunjukkan bukti nyata terhadap kepatuhannya untuk mengelola hasil hutan secara bertanggungjawab, salah satunya adalah lewat verifikasi legalitas kayu SVLK dan Pengelolah Hutan Produksi Lestari (PHPL). Cakupannya pun melingkupi perlindungan keanekaragaman hayati dan pencegahan iklim. Upaya ini oleh beberapa Perusahan kayu terdepan lainnya, seperti SLJ Global.

“SLJ Global membangun tata kelola yang kuat, tidak hanya dalam model operasi bisnis, melainkan seluruh rantai pasok lewat pemenuhan standard sertifikasi PHPL Indonesia,  SLVK, dan  juga standard Internasional, yaitu FSC. Tujuannya untuk memastikan pengelolaan hutan dilakukan secara berkelanjutan yang melindungi iklim, ekosistem, dan juga masyarakat.” Ungkap Chief Financial Officer SLJ Global, Andrew Sunarko.

Andrew melanjutkan bahwa transparansi dan akuntabilitias adalah dua poin kunci penting yang harus dimiliki oleh seluruh pemangku kepentingan. Untuk membangun tata kelola yang baik, SLJ membangun tata kelola yang menyeluruh dan melibatkan rantai pasok serta masyarakat umum untuk selalu diedukasi agar memahami agenda  keberlanjutan perusahaan kami.

Momen pasca-Kunming dan pasca-Glasgow ini memberikan kesempatan penting untuk membahas potensi kawasan Asia Tenggara sebagai kontributor utama bagi proposisi nilai iklim dan keanekaragaman hayati global, terutama sebagai produsen utama hasil pertanian dan kehutanan. Pada diskusi global tentang peta-jalan dan rencana strategis terkait yang akan dibahas lebih lanjut di UNFCCC COP 27 dan UNCBD COP 15 (Part 2).

Co-founder & President Director Daemeter Consulting Aisyah Sileuw mengangkat topik terkait industri di Indonesia dan Malaysia berada di bawah tekanan publik untuk mengurangi deforestasi dalam rantai pasok sejak tahun 1980-1990an. Namun dalam satu dekade terakhir, seiring dengan perkembangan kapasitas pemrosesan industri, perhatian mengenai hutan, keragaman hayati, dan masyarakat harus semakin ditingkatkan.

Data menunjukan bahwa deforestasi di Indonesia dan Malaysia telah berkurang tajam sejak 2015. Berdasar hasil studi Daemeter Bersama Tropical Forest Alliance, laju deforestasi telah berkurang sebesar ~734 ribu Ha/tahun pada 2014-2015, menjadi ~339 ribu Ha/ tahun pada periode 2019-2020[2].

“Para pemangku kepementingan telah berkumpul dan berkomitmen untuk menghambat perubahan iklim dengan cara mengurangi laju deforestasi. Perlu kita sadari dan catat bahwa kita dapat membangun ecological civilization dengan cara belajar dari alam dan berkolaborasi atau melibatkan para aktor perubahan.” tutur Aisyah.

Chief Executive Officer Rimba Makmur Utama Dharsono Hartono menambahkan pendapat mengenai manusia sebagai agent of destruction yang bila tidak mau berubah akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Padahal, menurut Dharsono dalam konteks yang berlaku saat ini, manusia dan alam bisa saling berdampingan. Dengan segala upaya yang ada, manusia dapat memberikan nilai tambah ke alam, salah satunya dengan menjaga keanekaragaman hayati.

“Kata kunci yang sering saya ucapkan adalah keinginan belajar, transparan, dan keadilan. Sudah saatnya bukan hanya LSM yang peduli, melainkan seluruh pihak yang belajar dari alam sebagai aset bagi kita untuk hidup kedepannya.” Tutup Dharsono.

[1] https://www.menlhk.go.id/site/single_post/3645/laju-deforestasi-indonesia-turun-75-03

[2] Decade of Progress “Reducing Commodity Driveb Deforestation in Indonesia and Malaysia”, a study by Daemeter and the Tropical Forest Alliance

Gotong-royong Membangun Perencanaan Keuangan Melalui Pendekatan Yurisdiksi

Jurisdiction Collective Action Forum, Dialogue #3:

Jakarta, 10 November 2021 – Pendekatan yurisdiksi (JA) memberikan visi pragmatis dan inspiratif untuk mencapai keselarasan lintas sektor yang berkelanjutan dari green prosperity. JA adalah pendekatan lanskap terpadu yang bertujuan untuk mengharmonisasikan tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan lewat partisipasi berbagai pemangku kepentingan lintas sektor yang dipimpin kepala pemerintahan baik di tingkat nasional maupun di tingkat sub-nasional.

 

Dengan bermunculan inisiatif JA yang dilakukan di beberapa yurisdiksi menjadi krusial untuk melihat potensi pendanaan hijau untuk mengakselerasi upaya kabupaten yang berprestasi menuju pertumbuhan rendah karbon, produksi komoditas berkelanjutan sekaligus mengedepankan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang inklusif.

 

Mekanisme insentif keuangan menjadi kunci untuk mengkonsolidasikan kepentingan ekonomi dan ekologi  lintas sektoral dan multipihak pada tingkat kabupaten untuk menuju Green Prosperity (kemakmuran hijau).  Pertemuan JCAF #3 dilaksanakan untuk mengidentifikasi adanya fasilitas keuangan, jenis instrumen pendanaan dan mekanisme yang diberlakukan untuk kabupaten serta bagaimana pendekatan Yurisdiksi dapat mengakselerasi pendanaan untuk masuk baik lewat penguatan sistem perencanaan dan mekanisme pelaporan, pemetaan prioritas, sistem regulasi dan beragam lainnya.

 

Diprakarsai oleh Coalition for Sustainability Partnership (CSP), Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Inisiatif Dagang Hijau (IDH), IPMI Case Centre, Filantropi Indonesia, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Landscape Indonesia, Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAgro) dan Tropical Forest Alliance (TFA) yang tergabung dalam  Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF) JCAF melangsungkan dialog bulanan yang dihadiri lebih dari 150 undangan dan dikurasi serta difasilitasi bersama para praktisi penerapan yurisdiksi berdasarkan prioritas dan tema yang disepakati.

 

JCAF#3 diharapkan dapat menghasilkan sebuah rekomendasi kasus investasi yang bisa di dorong lewat “Financing Jurisdiction Approach Toward Green Prosperity”. Dialog ini menghadirkan pegiat yurisdiksi di sekelompok kabupaten hijau, negara donor dan lembaga multilateral serta investor swasta. Pemerintah nasional dari BPDLH, BKF, Kementerian Lingkungan Hidup dan juga Kementerian Luar Negeri hadir memberikan  arahan terkait regulasi yang dapat diakses oleh kabupaten dalam bentuk fiskal domestik, pendanaan konvensional, obligasi hijau atau sukuk hijau serta dana investasi global. Pendekatan JA dapat digunakan untuk mengintensifkan produksi komoditas yang berkelanjutan di Indonesia.

Disaat yang sama sektor swasta pun memperkuat penerapan  sistem lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) dan selaras dengan meningkatnya investasi yang berkelanjutan.

 

Hal ini jadi momentum tepat untuk pemerintah, bisnis, dan lembaga keuangan Indonesia untuk mempromosikan kabupaten berkemakmuran hijau di Indonesia mengingat instrumen maupun ekosistem pendukung sedang dibangun.

 

JA mendapatkan momentum dan dipilih oleh sejumlah pihak untuk membantu dan mengurangi deforestasi dan juga emisi namun tetap mengedepankan pertumbuhan masyarakatnya.  JA juga dipakai oleh pelaku usaha yang memerlukan kepastian sourcing yang berkelanjutan dalam rantai pasok lewat upaya sertifikasi berkelanjutan pada tingkat yurisdiksi. Sebuah trend  konsolidasi menuju pembangunan hijau. JA menjadi kasus investasi yang menarik untuk melihat potensi investasi di tingkat yurisdiksi (kabupaten) karena lebih efisien sekaligus menjawab permasalahan  pelik terhadap  penanggulangan deforestasi di Indonesia yang memerlukan pendanaan yang besar.” ujar CEO Landscape Indonesia Agus Sari.

 

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melakukan strategi jangka panjang untuk pertumbuhan rendah karbon dan resiliensi iklim lewat pendanaan, peningkatan kapasitas maupun inovasi teknologi. Mekanisme BPDLH berperan sebagai administrator pendanaan iklim yang terkait dengan kebijakan fiskal, investasi hijau, pendanaan swasta juga internasional.

 

“Pendanaan nasional untuk mengatasi masalah iklim di Indonesia setiap tahunnya mencapai 260 juta USD sementara APBN hanya terserap sekitar 30-40% sehingga di tingkat daerah perlu mencari pembiayaan inovatif yang dapat digunakan untuk memprioritaskan pembangunan lingkungan yang dapat mengkonsolidasi berbagai kepentingan dan amannya ekosistem yang lebih efektif.” jelas Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Dr, Djoko Hendratto, M.B.A.

Selain adanya instrumen  BPDLH, pemerintah nasional juga mendorong adanya inovasi untuk mengembangkan bisnis model lewat pemanfaatan jasa lingkungan melalui metode blended finance hingga membangun sebuah unit investasi yang beroperasi secara bisnis di tingkat kabupaten.

 “IRU ini nanti akan bergerak bersama dengan investasi atau blended atau debt management unit yang disusun dalam bentuk UPTD. Kalau bisa nanti BLUD atau BUMD yang kemudian dia dipisahkan dari dinas. Nah disinilah kemudian kita bicara era blended finance. Kenapa ada BPDLH akan menjadi menarik kalau kemudian daerah juga bicaranya era baru pembentukan BPLHD supaya daerah bisa keluar dari ketergantungan APBN-APBD.” ungkap Joko Tri Haryanto.

Selaras dengan hal tersebut penting untuk mempersiapkan kabupaten secara kelembagaan dapat mengelola investasi hijau lewat pemenuhan indikator KDSD  yang mendorong prinsip inklusifitas atau gotong royong guna memungkinkan semua pihak mendapatkan peran sesuai dengan cakupan prioritas yang beragam antar Yurisdiksi, mencakup perlindungan gambut, perbaikan kanal, pegembangan desa peduil gambut, peningkatan kapasitas petani dan produksi,  lainnya.

“Apa yang kita pelajari terkait JA akhirnya dapat diwujudkan melalui 1 portofolio di level tapak atau perdesaan dalam pengembangan di level kabupaten. Ada 7 elemen yang sedang diuji coba untuk kawasan perdesaan, yakni perencanaan, kerangka peraturan pola gotong royong lintas pihak dan rencana aksi bersama. Hal ini diwujudkan dalam bentuk dukungan untuk pengembangan produk dan jasa ramah lingkungan ramah sosial oleh badan usaha berbasis masyarakat. Praktek JA seperti ini punya potensi menghubungkan lintas sektor termasuk komoditas, energi, limbah dan bahkan logistik. Model ini harapannya dapat dikembangkan sebagai titik awal transformasi rantai pasok” ungkap Head of Secretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari Gita Syahrani.

Dari sekian banyak upaya pengembangan yurisdiksi menuju pertumbuhan hijau, Kabupaten Seruyan merupakan salah satu kabupaten yang mendorong pertumbuhan berkelanjutan lewat sertifikasi petani mandiri dengan dukungan gotong royong pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat, seperti Inobu. Dengan keadaan ekosistem yang ada kabupaten ini juga peluang untuk mengakses pendanaan hijau yang tersedia.

“Sumber daya yang dikonversi dalam mendukung petani menuju sertifikasi erat kaitannya dengan peran pebisnis dan pemangku kepentingan penting dalam konteks sharing sumber daya entah itu dari pihak pemerintah daerah, NGO, maupun petani itu sendiri. Dukungan yang kami terima sejauh ini adalah bantuan pendampingan petani yang belum tersertifikasi. Bantuan ini dibagi menjadi 4 bentuk yakni pemetaan petani dalam rantai pasok dan penetapan standar, tenaga pakar untuk membantu pelatihan petani, pelatihan petani untuk menghadapi kebakaran hutan dan lahan, serta pembuatan pupuk berstandar sertifikasi. Saat ini perusahaan saling terlibat dalam pembagian data untuk kawasan lindung dan diharapkan pemerintah daerah dapat menyatukan protokol yang disepakati bersama dan bisa disatukan dalam revisi kebijakan tata ruang daerah. ujar Chief Legal Officer INOBU Bernadinus Steni.

 

Gotong Royong Para Pihak Lakukan Pendekatan Yurisdiksi Kembangkan Prospek Bisnis Kolaboratif

Jurisdiction Collective Action Forum, Dialogue #1: “Pendekatan Wilayah Yurisdiksi di Asia Tenggara”

Jakarta, 2 September 2021 – Salah satu pendorong utama pendekatan yurisdiksi adalah potensi bagi pihak swasta dan pemerintah untuk memenuhi komitmen produksi komoditas yang berkelanjutan untuk mendorong agenda perubahan iklim di Indonesia. Pendekatan yurisdiksi jadi solusi di tingkat kabupaten melalui penerapan tata kelola lahan melalui indikator yang terukur dan disepakati bersama guna memperkuat standar keberlanjutan yang diakui oleh para pihak.
Pendekatan Yurisdiksi (JA) dikomandoi oleh kepala daerah dan dijalankan secara gotong royong dan terintegrasi oleh para pihak pada sebuah wilayah administratif. Aksi gotong royong ini melibatkan masyarakat adat, petani, masyarakat sipil, hingga rantai pasok dan praktisi keuangan untuk merumuskan prioritas pembangunan yang mengintegrasikan aspek sosial, lingkungan dan ekonomi guna mendorong pembangunan yang berkelanjutan.
Kendala utama dalam mengarusutamakan Pendekatan Yurisdiksi adalah ketersediaan kebijakan yang memayungi pendekatan tersebut, keberlanjutan komitmen pemerintah daerah ataupun pihak donor untuk merealisasikan dalam bentuk kebijakan dan pendanaan, serta peluang insentif pasar yang memberikan penghargaan atas hasil yang dicapai di tingkat yurisdiksi.
Diprakarsai oleh Coalition for Sustainability Partnership (CSP), Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Inisiatif Dagang Hijau (IDH), IPMI Case Centre, Filantropi Indonesia, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Landscape Indonesia, Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAgro) dan Tropical Forest Alliance (TFA) yang tergabung dalam Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF), Dialog ini mengusung tema “The State of Jurisdiction in Southeast Asia”. JCAF akan melangsungkan dialog bulanan yang dihadiri lebih dari 250 undangan dan dikurasi serta difasilitasi bersama para praktisi penerapan yurisdiksi berdasarkan prioritas dan tema yang disepakati.

JCAF berperan sebagai ruang dialog yang diharapkan dapat mendorong aksi gotong royong lintas sektor dan lintas komoditas serta memperkuat daya ungkit JA lewat mobilisasi investasi ke wilayah yurisdiksi; mengidentifikasi tantangan sekaligus peluang untuk memperkuat pendekatan para pihak ini, dan berbagi praktik terbaik. Diharapkan dialog ini menelurkan business case dan investment case yang berbasis data yang dapat mendemonstrasikan dampak dari pendekatan yurisdiksi terhadap tata kelola lahan yang baik.

Forum JCAF ini diharapkan dapat mendorong narasi positif dari tapak terkait pencapaian yang telah dihasilkan baik di tingkat kabupaten dan provinsi untuk menghasilkan komoditas yang berkelanjutan dan pencapaian pertumbuhan pembangunan yang berkelanjutan (SDG) yang dapat didemonstrasikan ke berbagai forum international.

“Melalui dialog ini rekan-rekan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang strategi yang berhasil maupun dapat mengidentifikasi kesenjangan dan harmonisasi kebijakan dari peraturan yang dibutuhkan oleh pemangku kepentingan. Serta memberikan rekomendasi yang holistik dan mengidentifikasi ide-ide kolektif lebih lanjut guna mempercepat investasi masuk ke dalam yurisdiksi.” ujar Regional Director TFA Southeast Asia Rizal Algamar.
Dalam Paris Climate Agreement 2015 yang lalu, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengintegrasikan agenda Perubahan Iklim ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Lebih lanjut komitmen ini diterjemahkan di dalam Low Carbon Development Indonesia (LCDI) serta Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai mekanisme implementasi untuk mencapai Nationally Determined Contribution(NDC). Implementasi kebijakan LCDI juga akan berkontribusi pada pencapaian Visi Indonesia tahun 2045 dalam mengutamakan pelaksanaan pembangunan rendah karbon yang berkelanjutan. Pendekatan Yurisdiksi berperan sebagai mekanisme integrasi lintas-sektoral dan lintas regional untuk mengakselerasi komitmen pemerintah di tingkat yurisdiksi.
Mitra lainnya, Proforest berkolaborasi dengan Daemeter dalam inisiatif lanskap di Siak dan Pelalawan, melalui wadah Consortium of Resource Experts (CORE), melihat penerapan yurisdiksi memberikan peluang untuk keterlibatan aktif rantai pasok dalam lanskap produksi di Indonesia dan Malaysia untuk mendukung upaya produksi komoditas yang bertanggung jawab. Hal ini disampaikan dalam sesi diskusi JCAF oleh Direktur Proforest Asia Tenggara, Surin Suksuwan,

Pada bulan Juli 2021, Kabupaten anggota LTKL telah mendeklarasikan komitmen bersama untuk mendukung target nasional untuk melindungi setidaknya 50% ekosistem penting di wilayah masing-masing Kabupaten pada tahun 2030 dengan berbagai inovasi yang mensejahterakan masyarakat. Sembilan Kabupaten yang tergabung dalam asosiasi ini adalah Kabupaten Siak, Musi Banyuasin, Sintang, Sigi, Gorontalo, Bone Bolango, Aceh Tamiang, Sanggau, dan Kapuas Hulu yang tersebar di enam provinsi. Dengan menggunakan pendekatan yurisdiksi (JA) sebagai model pembangunan sesuai RPJMN 2020-2024, Kabupaten anggota LTKL dapat mengintegrasikan mekanisme gotong royong para pihak dan lintas sektor melalui fasilitasi pemerintah pada tingkat wilayah administrasi. Model ini dapat berkontribusi nyata pada target nasional Indonesia untuk menarik investasi berkualitas ramah lingkungan, ramah sosial untuk meningkatkan daya saing daerah, membuka lapangan pekerjaan dan peluang usaha baru, serta mencegah kebencanaan dan krisis iklim

Saat ini Pendekatan Yurisdiksi telah berkembang dengan prioritas yang berbeda, baik pada konservasi hutan dan produksi komoditas berkelanjutan di wilayah Indonesia maupun Malaysia, meliputi Aceh Tamiang di Aceh, Tapanuli Selatan di Sumatera Utara, Seruyan di Kalimantan Tengah, Siak di Riau, Berau di Kalimantan Timur, Sintang di Kalimantan Barat serta negara bagian Sabah dan Sarawak.

“Masyarakat lokal menjadi stakeholders yang sangat penting untuk mempersiapkan kebijakan yurisdiksi melalui penyelarasan kebijakan nasional dan kolaborasi dari pihak swasta dengan tujuan mempersiapkan komoditas yang berkelanjutan dan pembangunan rendah karbon. Intervensi tingkat subnasional ini dapat menghasilkan proposisi nilai untuk wilayah yurisdiksi dan membuka peluang lintas komoditas. Untuk itu, Kabupaten Siak berkomitmen untuk mengintegrasikannya dengan RPJMD Kabupaten Siak bahkan sekarang sedang dalam upaya sosialisasi untuk menurunkan ke tingkat desa (RPJMDes).” Jelas Kepala BAPPEDA Siak, Riau, Wan Muhammad Yunus.

Implementasi Penerapan Yurisdiksi telah menunjukkan tanda-tanda kemajuan dalam wilayah yurisdiksi, dan hal tersebut membutuhkan upaya berkelanjutan dan keterlibatan multipihak. Hasil penting yang dicapai dari intervensi di yurisdiksi antara lain peningkatan strategi perencanaan tata ruang wilayah, komitmen pemimpin politik, kebijakan pertumbuhan hijau, pembentukan tata kelola multistakeholder, dan lain-lain. Namun, tantangan yang dihadapi menunjukkan diperlukannya dukungan regulasi terkait pendekatan yurisdiksi agar dapat diintegrasikan ke dalam perencanaan dan penganggaran baik di tingkat nasional maupun daerah. Dengan begitu, pendanaan jangka panjang dapat dialokasikan guna mendanai kegiatan prioritas tersebut baik di tingkat kabupaten atau provinsi. Selain regulasi, siklus politik dan komitmen donor adalah dua isu yang sama pentingnya untuk dibahas dalam menangani keberlanjutan pendekatan yurisdiksi.

Pendekatan Yurisdiksi merupakan pendekatan yang rasional dan bisa diterapkan (implementable) karena komponen komponennya terukur dalam penerapan tata kelola yang baik (Good Governance) di tingkat pemerintah maupun swasta. Prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan responsibilitas bisa diterapkan dengan baik. “Dengan upaya gotong royong dalam meningkatkan praktik Pendekatan Yurisdiksi, saya yakin pemerintah juga akan terbantu dalam pelaksanaan program di tingkat desa secara lebih efektif, terutama karena menggandeng masyarakat atau komunitas yang tinggal di wilayah yurisdiksi. Salah satu bukti yang bisa dilihat dari program Aksi Inspiratif Warga Untuk Perubahan (SIGAP) yang melibatkan warga di 99 desa yang ada di Berau, Kalimantan Timur. Program ini memang dirancang untuk menurunkan emisi gas rumah kaca melalui upaya pengurangan laju penggundulan dan kerusakan hutan dengan tujuan agar mampu berkontribusi dalam pengendalian perubahan iklim global.” tambah Senior Advisor Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), Wahjudi Wardojo.

Forum Aksi Kolektif Yurisdiksi (JCAF) akan menjadi yang pertama dari serangkaian dialog yang akan diselenggarakan oleh para pihak. JCAF menyediakan ruang dialog konstruktif bagi para pelaku yurisdiksi untuk mengidentifikasi kemajuan, tantangan, dan kesenjangan yang masih harus ditangani dalam konteks kerangka peraturan, peluang investasi, pasar, dan insentif. JCAF bermaksud untuk memperkuat kondisi JA saat ini di Indonesia dan Malaysia dalam semangat Gotong Royong untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan dan rendah karbon.

“JA berfungsi sebagai ruang bagi mitra multi-stakeholder yang berkomitmen untuk mematuhi prioritas produksi, perlindungan, dan inklusi dan secara bersama-sama setuju untuk membangun peta jalan bagi rencana pertumbuhan hijau untuk mencapai target menengah terkait dengan sumber dan ketertelusuran yang berkelanjutan dan melibatkan sektor swasta, masyarakat sipil, dan masyarakat. Dengan demikian kita dapat membuka kemungkinan pembeli global untuk mendapatkan komoditas berkelanjutan tersertifikasi dan terlibat dengan produsen khusus yurisdiksi.” tegas Insan Syafaat, Executive Director PISAGro.

 

Pendekatan Yurisdiksi Janjikan Pembangunan Berkelanjutan yang Lebih Efisien dan Seimbang

Jakarta, 11 Juni 2021Pendekatan Yurisdiksi (Jurisdictional Approach) menjadi kunci untuk membuka peluang investasi hijau masuk ke daerah dengan komitmen berkelanjutan. Untuk memahami pengertian dan mengeksplorasi peluang pendekatan yurisdiksi, Landscape Indonesia bersama dengan mitra pendukung pendekatan yurisdiksi mengadakan webinar bertajuk “Investing in Jurisdictional Approach” pada hari Jumat (11/6).

Webinar “Investing in Jurisdictional Approach” dipimpin oleh CEO Landscape Indonesia Agus Sari dan dihadiri para narasumber dari Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) Gita Syahrani, Sekertaris Yayasan  Institut Penelitian Inovasi Bumi (INOBU) Bernardinus Steni, CEO PT Rimba Makmur Utama (PT RMU) Dharsono Hartono, dan Direktur Regional Asia Tenggara sekaligus juga Chair of the Board of Executive Filantropi Indonesia, Rizal Algamar.

Pendekatan Yurisdiksi (PY) menjanjikan solusi yang lebih efisien terhadap tantangan yang dihadapi baik dari rantai pasok, maupun pemerintah daerah. Tujuannya adalah untuk merealisasikan kebijakan pemerintah serta memperkuat tata kelola di tingkat sub-nasional, meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghasilkan produk ramah lingkungan, mengakselerasi implementasi rehabilitasi dan konservasi ekosistem serta mendorong masuknya investasi berkelanjutan di yurisdiksi yang aktif mengedepankan pembangunan berkelanjutan. Pendekatan Yurisdiksi menawarkan kerangka kerja  mengkonsolidasi upaya silo tradisional menuju rantai pasok untuk mengelola ekosistem secara gotong royong dan berkelanjutan.

Jurisdictional Approach adalah cara paling efisien untuk membangun dengan menyeimbangkan produksi komoditas dan produksi layanan ekosistem (konservasi).  Ini adalah sebuah business case untuk investasi pada skala yurisdiksi.” ujar CEO Landscape Indonesia Agus Sari.

Secara konteks produksi, pendekatan yurisdiksi mendorong pembenahan tata niaga komoditas lewat  sistem keterlacakan dan proses sertifikasi keberlanjutan yang lebih sederhana dengan melibatkan komunitas masyarakat seperti petani swadaya dan masyarakat disekitar hutan. Pendekatan yurisdiksi juga membuka kesempatan untuk akselerasi perlindungan hutan melalui restorasi ekosistem dengan membentuk koalisi di yurisdiksi tersebut.

Dalam memperbaiki tata kelola, kepala daerah sebagai pemimpin suatu yurisdiksi dinilai memiliki peran penting dalam memimpin rencana aksi daerah yang berkoordinasi aktif dengan pemerintah pusat serta koalisi multi-pihak yang terbentuk untuk mendukung kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah daerah, sehingga pendekatan yurisdiksi ini dapat menciptakan peningkatan produksi komoditas yang berkesinambungan dan diimbangi dengan perlindungan ekosistem serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.

LTKL sebagai asosiasi pemerintah kabupaten sangat mendukung pendekatan pembangunan yang dapat menjaga lingkungan dan mensejahterakan masyarakat secara paralel. Pendekatan ini akan mendukung berbagai capaian target nasional termasuk SDGs dan pencegahan kebencanaan melalui gotong royong multipihak, baik di dalam kabupaten maupun antara kabupaten.

“Para kabupaten pendiri, pengurus dan anggota LTKL percaya bahwa  diperlukan gotong royong lintas pihak yang difasilitasi oleh pemerintah untuk memastikan pertumbuhan ekonomi dan lingkungan seimbang. Peran pihak swasta, mitra pembangunan, masyarakat sipil, akademisi dan kaum muda sangat penting agar daya saing daerah dapat meningkat. Melalui konsep ekonomi lestari dan Kerangka Daya Saing Daerah (KDSD), asosiasi kabupaten ini berupaya menjembatani agar lebih banyak investasi berkualitas dapat mendukung pola pembangunan daerah sesuai target nasional untuk pembangunan berkelanjutan” ungkap Kepala Sekretariat LTKL, Gita Syahrani.

Dalam perjalanannya, Pemerintah Indonesia sudah mengembangkan beberapa pendekatan. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)  merupakan pendekatan yurisdiksi di tingkat nasional yang telah sukses menjamin legalitas produk kayu yang diekspor dari Indonesia, dan dapat menjadi model untuk pendekatan yurisdiksi yang efektif. Beberapa standar keberlanjutan komoditas telah menyesuaikan standarnya agar dapat diterapkan di tingkat yurisdiksi.

Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) Standard merupakan mandat sertifikasi nasional yang memungkinkan produk minyak sawit Indonesia mendapatkan jaminan keberlanjutan. Sedang di tingkat global, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), misalnya, telah menguji coba prinsip dan kriteria yurisdiksi di tingkat Kabupaten, yang diimplementasikan oleh Yayasan Inobu. Dimana proses ujicoba tersebut kemudian dilanjutkan ke tahapan pemantauan keterlacakan di tingkat yurisdiksi, dengan menggunakan sistem terpercaya.

Inobu percaya bahwa pendekatan multipihak berbasis yurisdiksi penting untuk mencapai pertumbuhan daerah berbasis ekonomi rendah karbon dan lingkungan yang inklusif mencakup kelompok masyarakat tani. Inisiatif Terpercaya yang dipimpin oleh BAPPENAS dan diimplementasikan di tingkat kabupaten oleh Yayasan Inobu mempresentasikan informasi yang akurat terkait kinerja keberlanjutan kabupaten yang menghasilkan kelapa sawit” papar Sekertaris Yayasan Inobu Bernadinus Steni.

Salah satu pendekatan yurisdiksi juga dimanfaatkan untuk mengakselerasi penghitungan karbon. Kalimantan Tengah menjadi provinsi pertama yang menerapkan inovasi karbon  dengan memanfaatkan juga pendekatan yurisdiksi. PT RMU telah  mengembangkan proyek restorasi dan konservasi lebih dari 90% stok karbon hutan gambut seluas 149.800 hektar di Kalimantan Tengah, Indonesia, sebagai proyek Solusi Berbasis Alam.

“Kerjasama dengan masyarakat lokal dan pemerintah daerah di lokasi proyek adalah kunci pendekatan yurisdiksi. Utamanya meningkatkan kegiatan ekonomi kreatif masyarakat menjadi berkelanjutan, termasuk mengalihkan mata pencaharian penebangan liar atau mendorong petani membuka lahan tanpa bakar” seperti disampaikan CEO PT RMU, Dharsono Hartono.

Sementara pendekatan ini masih bergulir, beragam upaya diperlukan untuk melakukan scaling-up dari inisiatif yang ada saat ini yang memerlukan pelibatan multipihak dari sektor swasta, pembiayaan dan masyarakat sipil untuk bergotong-royong mendukung komitmen pemerintah.

Rizal Algamar, Direktur TFA Asia Tenggara menjelaskan metode pendekatan yurisdiksi para pihak adalah bentuk aksi gotong royong antar perusahaan dan para pemangku kepentingan lainnya, untuk meningkatkan keberlanjutan rantai pasok selain menggunakan metode sertifikasi. Kolaborasi ini  sangat menjanjikan untuk mengatasi deforestasi dan meningkatkan praktik berkelanjutan di seluruh Indonesia yang dilaksanakan lintas sektor.

Pendekatan yurisdiksi ini menciptakan beragam koalisi dan pihak swasta masih konsisten melihat pendekatan yurisdiksi sebagai opsi untuk turut serta memperkuat kebijakan pemerintah daerah serta mengatasi tantangan keberlanjutan rantai pasok dari sisi bisnis. Dalam pembelajarannya, penting untuk selaras dengan kebutuhan serta arah kebijakan pemerintah pusat dan daerah serta mendapatkan komitmen politik dan kepemimpinan kepala daerah untuk program berlandaskan pendekatan yurisdiksi berjalan secara berkelanjutan.

“Salah satu pelajaran terpenting dari pendekatan yurisdiksi adalah aksi kolektif yang memerlukan komitmen jangka panjang dari berbagai aktor di berbagai lapisan. Koalisi multi-stakeholder perlu memiliki tujuan bersama untuk memperkuat kebijakan dan tata kelola perlindungan dan pemulihan hutan, meningkatkan kapasitas pekebun dan komunitas masyarakat untuk meningkatkan ekonomi yang ramah lingkungan serta mengakselerasi implementasi kebijakan pemerintah pusat maupun daerah. Pada akhirnya seluruh komponen tersebut  dapat mendorong investasi yang berkelanjutan” tutup Rizal.

 

 

Hari Lingkungan Hidup Sedunia Jadi Momentum Aksi Kolektif Bersama Menuju Pembangunan yang Berkelanjutan

Jakarta, 5 Juni 2021 – Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day) 2021 bertemakan “Decade on Ecosystem Restoration 2021-2030” diperingati seluruh penjuru dunia baik pemerintah, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat maupun masyarakat umum berupaya untuk meningkatkan kesadaran untuk memperbaiki dan melindungi lingkungan di berbagai negara. Indonesia tak luput dari perhatian dunia sebagai salah satu negara dengan wilayah hutan tropis yang berfungsi sebagai paru-paru dunia yang memiliki komitmen perubahan iklim di Indonesia.

Setiap tahun pemerintah bersama berbagai pihak swasta berusaha meningkatkan kesadaran publik dan mendorong tindakan untuk perlindungan lingkungan, baik dengan upaya mengurangi laju deforestasi, larangan pembuangan sampah tidak pada tempatnya, pengurangan emisi gas rumah kaca, perlindungan flora dan fauna, dan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengarahkan aksi atau tindakan para pelaku bisnis untuk menerapkan praktik berkelanjutan dalam rantai usaha mereka.

Sebagai bentuk komitmen negara untuk mengurangi emisi karbon, Pemerintah Indonesia serta pemangku kepentingan lainnya telah melaksanakan berbagai terobosan. Salah satu contoh adalah Perseroan Negara, PLN (Persero) berkomitmen untuk menggunakan energi terbarukan dan bebas emisi karbon. Di lain pihak pemerintah tidak akan mengeluarkan izin baru untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara. Dan dari sektor kehutanan, Pemerintah Indonesia telah berhasil menurunkan laju deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan secara signifikan.

Direktur Tropical Forest Alliance (TFA) untuk Asia Tenggara, Rizal Algamar mengatakan, TFA adalah bagian dari World Economic Forum (WEF) sebagai platform para pihak yang mendorong kerja gotong royong lintas aktor di berbagai sektor dari swasta, organisasi kemasyarakatan dan pemerintahan untuk mendukung kemajuan dari program pembangunan yang berkelanjutan dengan memperkuat ekosistem rantai pasok yang berkelanjutan serta bebas dari deforestasi guna mendukung pencapaian Sustainable Development Goals dan Kesepakatan Paris.

“Pentingya hari lingkungan hidup sedunia ini menjadi momentum untuk mengambil peranan dan mendorong aksi kolektif bersama-sama untuk mencapai tujuan perubahan iklim di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia,” ujar Rizal.

Ia kemudian menjelaskan peranan TFA dalam dalam program aksi kolektif bersama ini memperkuat dan membuka dialog antara produser dan pembeli, mendorong kerjasama antara pemangku kepentingan agar dapat menyusun suatu kerangka strategis untuk akselerasi pencapaian pembangunan rendah karbon. TFA bersama para mitra juga menyusun berbagai studi yang berbasis data dan fakta agar dapat menggambarkan upaya transformasi bisnis dalam rangka ikut serta dalam bergotong-royong untuk pembangunan yang berkelanjutan.

Perlindungan dan kesehatan lingkungan merupakan isu global yang selalu menjadi sorotan karena mempengaruhi kesejahteraan dan pembangunan ekonomi di seluruh dunia. Berdasarkan data dari IUCN, bahwasannya lebih dari 80% proses ekologi di dunia akan terdampak oleh perubahan iklim dan sekitar 37% upaya mitigasi untuk memenuhi tuntutan pembatasan kenaikan suhu dibawah 2 derajat celcius yang tertera di dalam Kesepakatan Iklim Paris (Paris Climate Agreement) merupakan solusi berbasis lingkungan.

Di hari Lingkungan Hidup Sedunia di tahun 2021 yang bertemakan “Decade on Ecosystem Restoration 2021-2030” ini, PBB telah memulai sebuah misi global untuk menghidupkan kembali miliaran hektar hutan dan lahan pertanian di berbagai wilayah dalam skala global. Misi ini berarti menghentikan dan memperbaiki kerusakan, serta beralih dari eksploitasi alam ke memulihkan alam. Tidak semua aksi global saja yang harus kita lakukan tetapi kita sebagai individu maupun keluarga juga bisa melakukan aksi serupa dengan melakukan berbagai tindakan kecil seperti memelihara tanaman dan menanam pohon, penghijauan di berbagai tempat di wilayah rumah, lingkungan serta perkotaan, menghidupkan kembali kebun dan lahan hijau, atau membersihkan sampah di sepanjang sungai dan pantai-pantai serta merubah pola konsumsi kita dan penggunaan plastik.

Krisis iklim adalah tantangan yang menentukan untuk generasi kita. Tahun 2021-2030 merupakan dekade gotong royong untuk restorasi ekosistem agar kita dapat mengatasi krisis iklim untuk masa depan generasi yang akan datang.